Rabu, 02 Januari 2008

Implementasi balanced scorecard pada lembaga keuangan mikro syari’ah

Abstract
The classic problems in shariah micro financial institution (BMT) are a limited human resources, the profit is too few, less in facilities and services, and a limited networking with other institutions. Balanced Scorecard is one of the solutions to that problems. It is a comprehensive performance model approach and it measured by four perspectives, there are finance, customer, internal business process, growth and learning. By this model, total performance of a shariah micro financial institution (BMT) can be improved. The aims of this research are to implement the Balanced Scorecard on shariah micro financial institutions, analyzing the difference of Balanced Scorecard implementation between BMTs in Semarang and explaining a correlation between four Balanced Scorecard perspectives. It is a quantitative research with an explanatory level and the research design that are used is a census research. The research objective is Balanced Scorecard with four perspectives, while the research subjects are managers of BMTs, employees of BMTs and customers or members of BMTs became the unit of analysis. Methods for gathering data are by a census by interview, questionnaires and documentation. The data analyses that are used is a descriptive analysis with an explanatory level, compare means T Test, and Kendall Tau W. From this research we know that the implementation of Balanced Scorecard on BMTs suffered many obstacles, especially limited human resources. However, by a deep review with a modification in the indicator of each perspective of Balanced Scorecard was modified, have been adjusted to the characteristics of BMTs. Total score of Balanced Scorecard shows that the average of BMTs of City Forum was categorized of rising or Class (B). There was a difference of scorecard at BMTs of Semarang City Forum and there was a significant correlation between the four perspectives of Balanced Scorecard.

Keywords: Balanced Scorecard, BMT, perspectives financial, customer, internal business process, growth and learning

Pendahuluan
Perusahan dewasa ini berada ditengah-tengah tranformasi yang revolusioner, persaingan abad industri telah bergeser ke abad persaingan abad informasi. Selama abad industri, keberhasilan suatu perusahaan ditentukan oleh seberapa baik perusahaan memanfaatkan keuntungan yang diperoleh dari skala dan ruang lingkup ekonomis (economies of scale and scope).
Sedangkan abad informasi, keberhasilan perusahaan ditentukan oleh bagaimana investasi dan pengelolaan aktiva intelektual dilaksanakan. Spesialisasi fungional diintegrasikan ke dalam proses bisnis yang berorientasi pelanggan. Produksi barang dan penyediaan jasa harus dapat digantikan dengan penciptaan produk dan jasa inovatif yang fleksibel, responsif, dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan memuaskan pelanggan. Agar dapat dihasilkan inovasi dan peningkatan produk dan pelayanan bagi pelanggan, maka perusahaan memerlukan kemampuan pekerja yang terlatih, teknologi informasi yang superior, dan selarasnya berbagai prosedur dalam perusahaan
Dalam lingkungan abad informasi yang kompetitif sekarang ini, aset tak tampak yang dimiliki perusahaan menjadi faktor kunci, yang menentukan keunggulan perusahaan dalam persaingan yang dihadapinya (Mulyadi, 1999a), sehingga banyak asumsi dasar dalam persaingan abad industri menjadi tidak relevan. Perusahaan tidak dapat mengandalkan keunggulan kompetitif hanya dengan menerapkan teknologi baru, tetapi bagaimana kemampuan perusahaan dapat memobilisasi aktiva tidak terwujud jauh lebih menetukan daripada melakukan investasi dan mengelola aktiva fisik yang berwujud dalam rangka meningkatkan kinerja. Aktiva tak berwujud memungkinkan mengembangkan hubungan dengan pelanggan untuk mempertahan-kan loyalitas, memperkenalkan produk dan jasa inovatif yang dinginkan oleh segmen pasar, memproduksi produk dan jasa bermutu tinggi, memobilisasi kemampuan dan motivasi pekerja, dan mengembangkan teknologi informasi (Kaplan, 2000).
Sintesis Kaplan ini memunculkan suatu pendekatan dengan model kinerja yang dikenal “Balanced Scorecard”, dimana model alternatif dalam mengukur kinerja, selain mempertimbangkan faktor financial juga faktor non financial. Dengan empat perspektif yaitu customer, internal, learning and growth, dan financial diharapkan dapat memberikan penilaian yang komprehensif kepada manajemen. Sistem ini diciptakan untuk menetapkan goals dan sekaligus melakukan pengukuran atas pencapaiannya, sehingga secara tidak langsung dalam aplikasinya, sistem ini dapat dipakai sebagai alat penetapan strategi bagi perusahaan. Kemampuan perusahaan dalam mengelola intangible assets-nya menjadi lebih menentukan keberhasilan perusahaan dibanding dengan pengelolaan tangible assets-nya. Intangible assets tersebut mencakup, pengembangan hubungan dengan customers, pengenalan produk baru, kemampuan menghasilkan produk dan jasa yang customized high-quality dengan cost yang minimal kemampuan meningkatkan skills dan memberikan motivasi karyawan dan berkemampuan mengembangkan teknologi informasi. Dampak revolusioner abad informasi juga dirasakan oleh perusahaan jasa termasuk pada lembaga keuangan syari’ah.
Lembaga keuangan syari’ah di Indonesia telah menunjukkan perkembangan pesat selama dekade terakhir ini Disamping adanya dukungan pemerintah dan sambutan positif umat Islam yang besar, lembaga keuangan syari’ah terbukti secara empiris tetap exist dalam kondisi krisis ekonomi yang telah memporak-porandakan sendi-sendi ekonomi dan soial masyarakat. Sejak krisis ekonomi, pemerintah telah menutup 55 bank, disamping mengambil alih 11 bank (BTO) dan 9 bank lainnya dibantu direkapitalisasi. Dari 240 bank sebelum krisis, kini hanya tinggal 73 bank swasta yang masih beroperasi. Kondisi dan tingkat pertumbuhan ekonomi memungkinkan perkembangan lembaga–lembaga keuangan syari’ah, saat ini tercatat ada dua bank umum, 52 BPRS dan 3.000 BMT yang tersebar di seluruh Indonesia . Dari 3.000 BMT, terdapat 513 BMT atau (17,1%) yang berlokasi di Jawa Tengah (PINBUK Jawa Tengah, 2006).
Keberadaan Baitul Maal wat Tamwil (BMT) menambah daftar lembaga keuangan berbasis syari’ah. Perkembangan lembaga jasa keuangan mikro syariah ini termasuk menggembirakan. Menurut data Asosiasi Baitul Maal wat Tamwil (BMT) Jawa Tengah, hingga saat ini sudah 268 unit BMT yang masuk sebagai anggota dari total sekitar 513 BMT. Penyebarannya sudah menjangkau semua kabupaten/kota di Jateng, dengan permodalan di atas Rp 100 juta.
Dalam perkembangannya, lembaga keuangan mikro syari’ah (BMT) sulit bersaing dengan lembaga keuangan konvensonal. Hal ini dikarenakan dalam kebijakan dan strategi usahanya, lembaga keuangan mikro syari’ah hanya berpedoman pada aspek finansialnya saja tanpa mempertimbangkan aspek-aspek kepuasan nasabah, proses layanan, dan kepuasan kerja untuk sumber daya manusianya. Penelitian yang dilakukan oleh Ikhwan (2000) tentang kinerja BMT di Jawa Tengah dengan menggunakan sampel 228 BMT menunjukkan bahwa 66,23 persen BMT cukup sehat dan kurang sehat 23,25 persen.
Dari 11 sampel BMT yang tergabung dalam BMT forum Kota Semarang dengan menggunakan pedoman PINBUK menunjukkan bahwa 54,55% tergolong cukup sehat dan 45,45% tergolong kurang sehat, dan tidak ada satupun BMT Kota Semarang yang sehat (Eljunusi, 2005). Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, aktivitas operasional BMT sebagian besar dibiayai dari simpanan yang masuk, bukan dari modal sendiri. Kedua, tidak maksimalnya pembiayaan yang disalurkan oleh BMT menyebabkan laba yang dihasilan BMT menjadi tidak maksimal. Ketiga, rendahnya mutu sumberdaya manusia yang dimiliki oleh BMT. Keempat, minimnya pelayanan dan kepuasan nasabah BMT. Untuk itu diperlukan suatu pengukuran kinerja dan startegi generik untuk meningkatkan kemampuan dan pertumbuhan BMT dari aspek finansial dan non finansial yang dikenal balanced scorecard (BSC).
Selain mempertimbangkan faktor finansial, BSC yang merupakan model alternatif dalam mengukur kinerja, juga mempertimbangkan faktor non finansial. Dipandang dari empat perspektif, yaitu customer, internal, learning and growth, dan finansial diharapkan dapat memberikan penilaian yang komprehensif kepada manajemen. Sistem ini diciptakan untuk menetapkan goals dan sekaligus melakukan pengukuran atas pencapaiannya. Sistem ini dapat dipakai sebagai alat penetapan strategi bagi perusahaan, termasuk BMT. Kemampuan perusahaan dalam mengelola intangible assets-nya menjadi lebih menentukan keberhasilan perusahaan dibanding dengan pengelolaan tangible assets-nya.
Berdasarkan kondisi-kondisi yang telah diuraikan, dapat diperoleh gambaran latar belakang situasional serta kondisional atas permasalahan pada lembaga mikro syari’ah (BMT), maka dengan mengembangkan model balanced scorecard. Balanced scorecard yang merupakan sistem pengukuran keuangan dan sistem manajemen yang sifatnya taktis, teknis dan oprasional diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah klasik yang dihadapi oleh lembaga keuangan mikro syari’ah (BMT) dalam rangka meningkatkan total performencenya.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi Balanced Scorecard pada BMT Kota Semarang, untuk mengetahui perbedaan implementasi Balanced Scorecard pada masing-masing BMT di Kota Semarang, dan untuk mengetahui hubungan keempat perspektif dalam balanced scorecard yaitu finansial, pelanggan, proses bisnis internal, pertumbuhan dan pembelajaran.

Tinjauan teoritis
Lembaga keuangan syari’ah pada saat ini tumbuh dengan cepat dan menjadi bagian dari kehidupan keuangan di dunia Islam. Kerangka dasar dari lembaga keuangan syari’ah adalah serangkaian aturan main dan hukum yang secara keseluruhan berdasarkan syari’ah, sehingga prinsip dasar dari lembaga keuangan syariah adalah melarang adanya bunga (interest), pembagian resiko (risk sharing), uang sebagai modal yang potensial, melarang adanya unsur spekulatif, kebenaran dari sebuah kontrak, dan melakukan aktivitas sesuai dengan syari’ah. Karena sejak awal ada rambu-rambu syari’ah dibelakangnya, maka dari mulai bentuk perusahaan, jenis usaha, produk dan jasa yang diberikan, operasionalnya sampai laporan keuangannya juga harus mendasarkan kepada prinsip-prinsip yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Prinsip utama lembaga keuangan syari’ah adalah bebas bunga yang tercermin daam produk-produk yang dihasilkannya. Produk-produk tersebut antara lain murabahah yaitu pembiayaan dengan marjin, bai’ bithaman Ajil yaitu transaksi jual beli dengan harga ditangguhkan, musyarakah yaitu penyertaan modal, mudharabah yaitu usaha dengan bagi hasil, al Qardhul Hasan yaitu pembiayaan kebijakan, ijarah atau leasing, dan jasa keuangan lainnya seperti al-wadiah, ijarah dan rahn. Semua produk di atas masih terus dikembangkan sesuai dengan tuntutan jaman seperti produk saham, sekuritas, dan obligasi syari’ah juga dikembangkan sebgai instrumen dalam kebijakan moneter pemerintah tetapi semua produk tersebut tetap didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah.

Kinerja Lembaga keuangan syariah mikro
Kinerja adalah kemampuan kerja yang ditunjukkan dengan hasil kerja. Menurut Kinerja adalah suatu tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan selama periode waktu tertentu, merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional perusahaan dalam memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki (Helfert, 1996). Kinerja adalah penentuan secara periodik efektivitas operasional organisasi, bagian organisasi dan karyawannya berdasarkan sasaran, standar, dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya menurut (Mulyadi, 1999b).
Jadi kinerja perusahaan merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dalam periode tertentu dengan mengacu pada standar yang ditetapkan. Dengan demikian penilaian kinerja perusahaan (companies performance assessment) mengandung makna suatu proses atau sistem penilaian mengenai pelaksanaan kemampuan kerja suatu perusahaan (organisasi) berdasarkan standar tertentu (Kaplan dan Norton, 1996). Pengukuran kinerja adalah sebagai berikut:
“Performance measurement is perhaps the most important, most misunderstood, and most difficult task in management accounting. An effective system of performance measurement containts critical performance indicator (performance measures) that (1) consider eachactivity and the organization it self from the customer’s perspective, (2)evaluate each activity using customer validated measure ofperformance, (3) consider all facets of activity performance that affect customers and, therefore, are comprehensive, and (4) provide feed-back to help organization members identity problems and opportunities for improvement”. (Atkinson et al., 1995)

Dalam Penelitian terdahulu, penilaian kinerja suatu perusahaan termasuk lembaga keuangan syari’ah, banyak peneliti menggunakan rasio keuangan yang dikatagorikan seperti likuiditas, solvabilitas, profitabilitas, dan efisiensi. Untuk mengevalusai kinerja bank Islam dan bank konvensional juga bisa menggunakan rasio-profitabilitas, likuiditas, dan rasio komitmen terhadap masyarakat (Samad dan Kabir, 1999). Dalam suatu studi di Malaysia, menunjukkan bahwa Bank Islam lebih liquid dan rendah resikonya dibandingkan dengan 8 bank konvensional lainnya, dan karena ketidaktahuan bankir dalam mengevaluasi profitabilitas proyek menjadi penyebab tidak populernya sistem bagi hasil (Samad dan Kabir, 1999). Dengan menggunakan profit lost sharing yang mengukur rasio efisensi, menunjukkan bahwa hasil Bank Islam tidak efisien jika menggunakan kerangka sistem bank konvensional (Saker, 1999). Sedangkan Hayashi menghasilkan formulasi zakat dan syarat-syarat perhitungannya dengan menggunakan rasio-rasio keuangan klasik bagi perusahaan (Hayashi, 1989).
Penelitian Ikhwan yang menganalisis kinerja keuangan pada 228 BMT di Jawa Tengah menggunakan rasio-rasio keuangan dari Samad dan Kabir, menunjukkan bahwa lembaga keuangan mikro syari’ah belum optimal dalam memperoleh profitabilitas (Ikhwan, 2000). Hal ini dikarenakan tidak maksimalnya pembiayaan yang disalurkan BMT menyebakan laba yang diperoleh BMT tidak maksimal.
Dalam penelitian Eljunusi, dengan menggunakan sampel 11 BMT Forum Kota Semarang dan 40 BMT yang tergabung dalam Pusat Kopersi Syari’ah di Jawa Tengah menggunakan rasio keuangan untuk mengukur kinerja (Eljunusi, 2005). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa, dari sisi profitabilitas return on assets (ROA) rendah. ROA yang rendah menunjukkan masih belum optimalnya BMT dalam menghasilkan laba, hal ini dikarenakan aktivitas operasional BMT sebagian besar dibiayai dari simpanan yang masuk, bukan dari modal sendiri. Dari sisi likuditas terutama curent asset ratio (CAR) lebih rendah dari ketentuan yang ditetepkan oleh Bank Indonesia sebesar 10 persen untuk lembaga keuangan.
Namun melihat pergeseran paradigma di era informasi, sudah seharusnya terjadi perubahan dalam sistem penilaian kinerja dan manajemen di lembaga keuangan syari’ah tidak hanya menggunakan rasio-rasio keuangan saja tetapi juga memperhatikan aspek-aspek non finansial lain, yaitu pelanggan, proses bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan dimana terjadi keseimbangan (balamce) antara berbagai ukuran ukuran finasial dan non finansial atau yang dikenal model Balanced Sorecard .

Balanced Scorecard (BSC)
Awal 1992, Robert Kaplan dan David Norton mempublikasikan dalam Harvard Business Review metode pengukuran mereka ‘The Balanced Scorecard – Measures That Drive Performance’. Balanced Scorecard (BSC) adalah alat yang menyediakan pada para manajer pengukuran komprehensif bagaimana organisasi mencapai kemajuan lewat sasaran-sasaran strategisnya. Metoda ini menjelaskan bagaimana aset intangible dimobilisasi dan dikombinasikan dengan aset intangible dan tangible untuk menciptakan proposisi nilai pelanggan yang berbeda dan hasil finansial yang lebih unggul (Kaplan dan Norton, 2000).

Norton dan Kaplan menempatkan BSC sebagai alat bagi organisasi untuk mengelola kebutuhan pemegang saham relevannya (Kaplan dan Norton, 2000). Lebih jauh mereka menyarankan BSC sebagai alat untuk memperbaiki aliran informasi dan komunikasi antara top eksekutif dan manajemen menengah dalam perusahaan. BSC ingin memperbaiki sistem konvensional pengontrolan dan akuntansi dengan memperkenalkan fakta lebih kualitatif dan non-finansial.
Pada awalnya, BSC ditujukan untuk memperbaiki sistem pengukuran kinerja eksekutif. Sebelum tahun 1990-an eksekutif hanya diukur kinerjanya dari aspek keuangan, akibatnya fokus perhatian dan usahaeksekutif lebih dicurahkan untuk mewujudkan kinerja keuangan dankecendrungan mengabaikan kinerja nonkeuangan. Pada tahun 1990, Nolan Norton Institute, bagian riset kantor akuntanpublik KPMG, mensponsori study tentang “Mengukur Kinerja Organisasi Masa Depan”. Studi ini didorong oleh kesadaran bahwa pada waktu itu ukuran kinerja keuangan yang digunakan oleh semua perusahaan untuk mengukur kinerja eksekutif tidak lagi memadai.
Pertimbangan sasaran finansial serupa dengan sistem tradisional manajemen dan akuntansi. Satu perbaikan penting dari BSC terletak pada fokusnya mendorong nilai bagi profitabilitas masa depan perusahaan. Norton dan Kaplan merekomendasikan integrasi sistematis BSC ke dalam sistem manajemen perusahaan yang telah ada (Kaplan and Norton ,1996). Untuk hal ini mereka mendiskusikan terutama fase-fase penataan dan implementasi strategi. BSC menjadi alat mentransformasikan strategi ke dalam aksi pelaksanaan. Mereka menekankan pentingnya pelatihan teratur dan tambahan dan komunikasi strategi internal dan pengukuran-pengukuran sasaran-sasaran terdefinisi di seluruh perusahaan (Kaplan and Norton ,1996). Melalui penataan sasaran lebih ambisius, menetapkan definisi pengukuran-pengukuran strategis, dan integrasi strategi terkait jangka panjang ke dalam proses penganggaran tahunan, BSC dapat memperbaiki sistem manajemen perusahaan yang ada saat ini.
BSC digunakan untuk menyeimbangkan usaha dan perhatian eksekutif ke kinerja keuangan dan non keuangan, serta kinerja jangka pendek dan kinerja jangka panjang. Hasil studi tersebut menyimpulkan bahwa untuk mengukur kinerja eksekutif masa depan, diperlukan ukuran yang komprehensif yang mencakup empat perspektif keuangan, customer, proses bisnis/intern, dan pembelajaran dan pertumbuhan.

Melihat pergeseran paradigma di era informasi sudah seharusnya terjadi perubahan dalam sistem penilaian kinerja dan manajemen di lembaga keuangan syari’ah tidak hanya menggunakan rasio-rasio keuangan saja tapi juga memperhatikan aspek-aspek non finansial, dimana terjadi keseimbangan (balamce) antara berbagai ukuran ukuran finasial dan non finansial atau yang dikenal model BSC.
Kajian tentang implementasi BSC sudah banyak dilakukan oleh perusahaaan di Amerika dan Eropa. Sekitar 76% implementasi BSC di perusahaan tersebut meliputi pengukuran finansial, pelaksanaan dan kepuasan pelanggan, sedangkan sisanya 23 % merupakan pengukuran innovasi dan perubahan manajemen (Linge dan Schimann, 1996). Penggunaan BSC dapat menggantikan Costumer Relationship Management (CRM) Strategy, yakni suatu strategi dimana perusahaan mencoba mengelola hubungan yang baik dengan para pelanggan untuk menciptakan nilai tambah untuk para pelanggan dan untuk perusahaan itu sendiri (Murphy dan Russel, 2002).
Haris dalam penelitiannya terhadap 64 BUMD di Jawa Timur menemukan bahwa kinerja BUMD tergolong baik, terutama perspektif keuangan yang seluruh indikatornya adalah pertumbuhan pendapatan, efisiensi biaya, peningkatan laba dan pemanfaatan aktiva/strategi investasi (Haris, 2004). Namun ditemukan pula adanya beberapa perspektif yang perlu dibenahi yaitu perspektif pelanggan yakni pencapaian kuantitas produksi serta pangsa pasar yang dimiliki, perspektif proses bisnis internal yakni jaringan hubungan dengan pemasok dan pengendalian kualitas, serta perspektif pembelajaran dan pertumbuhan yakni peningkatan kinerja dan pemenuhan kebutuhan karyawan. Adapun kerangka pemikiran didasarkan pada gambar berikut:




Metodologi
Untuk menganalisis tujuan penelitian, digunakan beberapa metode analisis. Pertama, digunakan metode analisis deskriptif kuantitatif eksplanatif dankomperatif, yaitu dengan menggambarkan dan menjelaskan secara mendalam tentang implementasi balanced scorecard pada masing-masing lembaga keuangan. Kedua, untuk mengetahui perbedaan implementasi balanced scorecard pada masing-masing lembaga keuangan mikro syari’ah digunakan uji statistik Compare Means T. Ketiga, untuk mengetahui hubungan antara empat persepektif balanced scorecard, digunakan uji statistik non parametrik korelasi Kendall TauW.

Hasil dan Pembahasan
Implemetasi BSC di Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah (BMT) Kota Semarang
Dalam praktek penerapan balanced scorecard tidak semudah yang diperkirakan, karena penerapan ini butuh komitmen dari manajemen puncak dan karyawan yang terlibat dalam organisasi. Dalam artikel Kaplan (1992), BSC diimplemetasikan ke 12 perusahaan yang memiliki kinerja yang bagus. Dari riset awal menunjukkan 10 perusahaan diantaranya memiliki kreteria yang menunjuk bahwa perusahaan dapat menerapkan BSC. Menurut survey yang dilakukan oleh Garther Group (Matson, 1999) terdapat 60% dari 1000 perusahaan versi majalah Fortune telah mencoba untuk menerapkan BSC ke dalam suatu kerangka manajemen strategik perusahaan, dan banyak lagi perusahaan-perusahaan Eropa dan Amerika yang sudah dan berhasil dalam menerapkan BSC.

Bagaimana implemetasi BSC pada lembaga keuangan mikro syari’ah (BMT). Lembaga keuangan mikro syari’ah merupakan bagian dari usaha kecil dan menegah mengalami beberapa keterbatasan-keterbatasan dalam menjalankan atau mengimplentasikan BSC baik yang bersifat internal maupun eksternal. Hasil wawancara dengan Manajer BMT, BSC belum dapat diterapkan pada lembaga keuangan mikro syari’ah (BMT) karena banyak sekali faktor penghambatnya antara lain kualitas sumberdaya manusia atau karyawan BMT yang rendah, belum berfungsi-fungsi manajemen dalam lembaga, dan terbatasnya data untuk mengukur BSC.
Pada hakekatnya implementasi BSC pada lembaga keuangan mikro syari’ah (BMT) dapat dilakukan berdasarkan kajian–kajian dari berbagai aspek, dan oleh peneliti, scorecard pada empat perspektif dilakukan modifikasi sesuai dengan karakteristik yang dimilki BMT. Dalam penelitian ini, ada beberapa modifikasi pengukuran BSC, terutama perspektif finansial dan pelanggan.
Untuk perspektif finansial, peneliti memdodifikasi ukuran finansial dengan kondisi riil BMT, dimana bentuk laporan keuangan yang masih sederhana sehingga peneliti memodifikasi dengan penelitian-penelitan terdahulu dengan penlian kinerja keuangan dari PINBUK. Demikian juga dalam perspektif pelanggan, dimana salah satu indikatornya ada atribut produk Islam. Karena produk-produk yang ditawarkan oleh BMT berdasarkan syari’ah. Secara skematis proses pengukuran kinerja lembaga keuangan mikro syari’ah (BMT) dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 menunjukkan skema pengukuran dengan BSC yang telah dimodifikasi dengan berbagai analisis dengan menggunakan skala Likert (1-4), maka akan diperoleh nilai yang menunjukkan klasifikasi suatu BMT yakni kelas A (sangat baik), B (baik), C (cukup baik), dan D (kurang baik). Implemetasi BSC berdasarkan skema terhadap pengukuran nilai kinerja secara keseluruhan pada lembaga keuangan mikro syari’ah (BMT) Forum Kota .

Gambaran lembaga keuangan mikro syari’ah (BMT) forum Kota rata-rata mempunyai kinerja total baik atau Kelas B. Secara empiris dapat dibuktikan bahwa, pertama, dengan nilai skor pada perspektif pelanggan adalah 3, ini menunjukkan bahwa nasabah atau anggota merasa puas dan loyal terhadap kinerja BMT. Loyalitas nasabah terutama dipengaruhi oleh jasa-jasa atau atribut produknya yang menpunyai ciri khas yang Islami. Sebagian besar nasabah yang melakukan hubungan dengan BMT merupakan nasabah yang sensitif akan nilai-nilai syariah, sehingga hal ini merupakan modal dasar bagi BMT untuk terus diminati oleh segmen untuk orang yang benar-benar menganggap bunga bank itu haram apalagi didukung dengan fatwa MUI yang mengharamkan bunga bank. Kalau nasabah sudah loyal maka walaupun fasilitas yang ada di BMT kurang memadai, inovasi, dan kreatifitas BMT yang rendah dan sumberdaya manusianya yang masih rendah skillnya, tidak membuat nasabah berpaling dari BMT malah nasabah memaafkan dan menyadari keberadaan BMT demi kemajuan dan syiar agama. Kesimpulan kadua, motivasi karyawan yang dilandasi ukhuwah Islamiyahnya membuat BMT sampai sekarang tetap eksis. Hal ini merupakan faktor penentu, sampai sekarang BMT tetap eksis karena motivasi karyawan yang tinggi, dan karyawan merasa loyal dan komitmen terhadap BMT, walaupun secara teknis sumberdaya manusianya kualitasnya masih rendah. Banyak karyawan di BMT yang pendidikannya tidak sesuai dengan job discriptionnya, pelatihan dan pendidikan yang kurang diperhatikan oleh BMT. Namun semangat dan motivasi karyawan untuk mengembangkan BMT perlu mendapat penghargaan. Dengan gaji, pendapatan yang pas-pasan serta kurangnya penghargaan terhadap prestasi kerja, karyawan tetap loyal dan masih mempunyai motivasi yang tinggi dalam mengembangkan BMT, karena mereka menganggap bahwa dengan mengembangkan BMT sebagai lembaga keuangan mikro syariah yang sistem operasionalnya berdasarkan prinsip-prinsip syariah, mereka juga mempunyai tanggungjawab terhadap pengembangan makna jihad dan syiar dalam rangka mengembangkan lembaga-lembaga yang berasaskan syariah.

Melihat hasil kinerja total, ada beberapa catatan perbaikan oleh BMT dalam upaya meningkatkan kinerja lembaga untuk menyongsong era globalisasi, sebab ada kemungkinan lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang keuangan adanya standarisasi nasional bahkan internasional. Oleh karena itu BMT harus benar-benar mempersiapkan diri menjadi lembaga yang compitable dan dapat dipercaya, sebab kedepan BMT tidak bisa lagi mengandalkan aspek-aspek emosional nasabah atau masyarakat. Masyarakat ke depan akan berpikiran rasional, sehingga walaupun BMT menyediakan jasa yang sesuai syariah tetapi jika tidak diimbangi dengan pelayanan yang baik, fasilitas dan kepercayaan, niscaya BMT akan ditinggalkan oleh nasabahnya. Prioritas untuk perbaikan BMT kedepan yang pertama dari proses bisnis internal, yaitu dengan mengembangkan inovasi-inovasi pada produk, sumberdaya manusia dan bahkan fasilitas pelayanan. Dimana selama ini BMT kurang inovatif dalam mengembangkan produk-produknya bahkan inovasi dalam pelayanan dan peningkatakan sumberdaya manusianya masih rendah. Prioritas kedua dari perspektif finasial, sebagian besar BMT kurang sehat, perspektif ini sifatnya uncontrolable, sehingga penanggulangannya lebih banyak di pengaruhi faktor lain atau di luar perusahaan. Keadaan ini tidak lepas dari rendahnya kualitas sumberdaya manusianya, untuk mengelolan BMT. Bagaimana seorang yang bukan bidangnya akan mengelola suatu usaha dimana usaha itu dijalankan oleh orang-orang yang bukan bidangnya. Walaupun perusahaan itu berjalan, tetapi hanya jalan di tempat. Ada suatu mukjizat jika sampai perusahaan itu menjadi corporate atau kongsi yang membidangi berbagai jenis usaha. Ini merupakan kiasan yang tujuannya unuk mengingatkan BMT supaya menjadi lembaga yang professional. Dari BMT yang ada 80% dijalankan oleh SDM yang bukan profesinya, walaupun profesi itu bukan jaminan akan menyebabkan suatu perusahaan akan maju. Jiwa interpreneurship muncul karena sifat pembawaan seseorang dan juga karena pendidikan dan pelatihan .

Perbedaan implementasi BSC pada lembaga keuangan mikro syari’ah (BMT) Forum Kota
Berdasarkan hasil komputasi data compare means T test pada Tabel 2 menunjukkan bahwa Thitung>Ttabel maka menolak H0 dan diterima Ha. Jadi, ada perbedaan implementasi pengukuran kinerja lembaga melalui BSC pada masing-masing lembaga keuangan mikro syari’ah (BMT) di Forum Kota.

Hubungan antara keempat perspektif BSC
Dalam tujuan ketiga penelitian yaitu apakah ada hubungan keempat perspektif dalam BSC pada lembaga keuangan mikro syari’ah (BMT) Forum Kota memiliki hubungan. Untuk membuktikannya diuji dengan uji non parametrik Tau Kendal W
Dari Tabel 3 menujukkan bahwa keempat perspektif finasial, pelanggan, proses bisnis internal, serta pertumbuhan dan pembelajaran pada BSC mempunyai hubungan yang signifikan. Hal ini terbukti dengan nilai Asymp. Sig adalah 0,00 yang artinya H0 ditolak dan Ha diterima. Dalam hal ini, pernyataan Ha adalah ada hubungan keempat perspektif balanced scorecard. Sesuai dengan apa yang dikembangkan oleh Kaplan (1996), “if you can measure it you can manage it “. Pendapat ini yang mendasari pemikiran balanced scorecard yang diukur dari berbagai aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan baik aktivitas yang diukur secara kuantitatif dan diukur dengan kualitatif. Pengukuran terhadap aktivitas menyangkut empat perspektif yaitu finansial, pelanggan, proses bisnis internal, serta pertumbuhan dan pembelajaran. Konsep empat perspektif yang terintegrasi dalam sistem kerangka manajerial strategi telah banyak diimplementasikan oleh perusahaan-perusahaan modern.

Tidak ada komentar: