Kamis, 03 Januari 2008

PROBLEM IMPLEMENTASI UU NO 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NO. 7 TAHUN 1989 TENTANG PENGEDILN AGAMA (STUDI PASAL 49)

A. ABSTRAK
Adanya amandemen UU No 7 Tahun 1989 menjadi UU No 3 Tahun 2006 tentang perluasan kewenangan pengadilan agama untuk menangani sengketa ekonomi syari’ah, merupakan fenomena baru yang harus dihadapi oleh seluruh jajaran aparat (pegawai dan hakim) pengadilan agama. Di satu sisi, hakim pengadilan agama dituntut untuk memahami segala perkara yang menjadi kompetensinya. Di sisi lain, hakim pengadilan agama selama ini tidak menangani sengketa yang terkait dengan ekonomi syari’ah, sehingga wawasan mereka tentang ekonomi syari’ah sangat terbatas. Penelitian ini yang menjadi bertujuan adalah (1) untuk mengetahui implementasi UU No 3 Tahun 2006 di lingkungan Peradilan Agama Jawa Tengah, (2) untuk mengetahui penyelesean penyelesaian sengketa ekonomi syariah bagi pelaku ekonomi syari’ah, (3) untuk mengetahui respon (pengetahuan, sikap dan prilaku) hakim pengadilan agama terhadap UU No. 3 Tahun 2006, (4) untuk mengetahui kecenderungan yang dilakukan oleh para hakim dalam melaksanakan amandemen UU No. 3 Tahun 2006, (5) untuk mengetahui persepsi (pengetahuan, sikap dan prilaku) pelaku ekonomi syari’ah terhadap UU No. 3 Tahun 2006
Metodologi yang digunakan (1) pendekatan yang digunakan adalah normatif: yuridis sosiologis dan empiris : kuantitatis ekaploratif. (2) sampel penelitian adalah : hakim pengdilan agama dan pelaku ekonomi syari’ah. Dengan teknik pegumpulan data interview dan dokomentasi. (3) teknik alisis yang digunakan adalah stratistik ditriptif eksploratif dan kontain analisis.
Hasil penelitian menunjukkan Pertama, Implementasi UU No 3 tahun 2006 pasal 49 khususnya berkaitan dengan sengketa ekonomi syri’ah sebenarnya tidaklah terdapat problem yang berarti secara teknis hakim, mengingat hakim tidak harus tahu hukum, tetapi hakim hanya dituntut untuk mengetahui permasalahan hukumnya saja, jika sudah diketahui haukumnya hakim tinggal mencari dan atau menanyakan kepada ahli hukum. Sedangkan problematika yang muncul hanya berkaitan dengan belum adanya peraturan perundang-undangan tentang ekonomi syari’ah yang bersifat khusus, menjadikikan hakim di Pengadilan Agama, harus berjuang keras menggali dan menemukan hukum dalam berbagai sumber hukum yang berserakan, baik ada dalam peraturan perbankan, hukum perjanjian, yurisprudensi maupun doktrin. Selain itu kurangnya sosialisasi UU No 3 tahun 2006, minimnya kegiatan yang dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah, serta kurangnya kesadaran hukum masyarakat. Kedua, Penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah bagi pelaku ekonomi syari’ah sebelum ada UU No. Tahun 2006 menunjukkan sebagian besar diselesaikan dengan musyawarah, Ketiga, Respon Hakim (pengetahuan, sikap, perilaku dan kesiapan) terhadap UU No. 3 Tahun 2006 Pasal 49 Tentang Kekuasaan Absolut Ekonomi Syari’ah di Pengadilan Agama: sebagain besar hakim mengetahui 11 bidang ekonomi syariah, perilaku hakim menerima sengketa 11 bidang ekonomi syariah sedangkan sebagian besar hakim menyatakan siap menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Keempat, kecenderungan yang dilakukan oleh para hakim Pengadilan Agama dalam melaksanakan amandemen UU No. 3 Tahun 2006 dengan pelatihan dan pendidikan. Kecenderungan hakim memutus perkara berdasarkan pertimbangan para hakim 71,78%, berdasarkan pakar ekonomi syariah 16,67 persen serta lain-lain 7,67%. Sedangkan Kelima, Persepsi (pengetahuan, sikap dan prilaku) pelaku ekonomi syari’ah terhadap UU No.3 Tahun 2006 menunjukkan 60% responden mengetahui UU no. 3 tahun 2006, sedangkan 40% tidak tahu. 70% responden menyatakan setuju dengan UU No. 3 Tahun 2006 sedangkan 30% responden melihat kasus. 8,2% responden menyatakan mau menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama sedangkan 73% menyatakan lihat kasus.

Kata Kunci : UU No. 3 Tahun 2006, Hakim, Pengadilan Agama, Ekonomi Syari’ah


B. PENDAHULUAN

Pasca amandemen UU No. 7 Tahun 1989 khususnya pasal 49 kewenangan Peradilan Agama menjadi bertambah. Perluasan kewenangan Peradilan Agama untuk menangani sengketa ekonomi syari’ah, merupakan fenomena baru yang harus dihadapi oleh seluruh jajaran aparat (pegawai dan hakim) Peradilan Agama. Di satu sisi, peradialan agama harus memiliki hakim-hakim khusus yang kapabel dalam menangani sengketa ekonomi syari’ah. Para hakim juga dituntut untuk memahami segala perkara yang menjadi kompetensinya. Karena hakim dianggap tahu akan hukumnya, sehingga hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dengan dalih hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Di sisi lain, seluruh hakim peradilan agama memiliki latar belakang pendidikan hukum Islam, yang selama ini tidak menangani sengketa yang terkait dengan ekonomi syari’ah, sehingga wawasan mereka tentang ekonomi syari’ah sangat terbatas. Sejalan dengan itu, setiap hakim Pengadilan Agama dituntut untuk lebih mendalami dan menguasai soal ekonomi syari’ah.
Selama ini para hakim hanya menangani masalah sengketa perkawinan, waris, wasiat; hibah, waqaf dan sedekah. Dengan bertambahnya kewenangan untuk menangani sengketa ekonomi syari’ah merupakan tantangan yang tidak ringan bagi hakim untuk menambah wawasan dan pengetahuannya. Untuk menghadapi tantangan tersebut, maka hakim Pengadilan Agama dituntut untuk : Pertama, para hakim Pengadilan Agama harus terus meningkatkan wawasan hukum tentang perekonomian syari’ah dalam bingkai regulasi Indonesia dan aktualisai fiqh Islam. Kedua, para hakim Pengadilan Agama harus mempunyai wawasan memadai tentang produk layanan dan mekanisme operasional dari perbankan syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, reksa dana syari’ah, obligasi dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah. Mereka juga harus memahami pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syaraiah, dan bisnis syari’ah. Ketiga, para hakim agama perlu meningkatkan wawasan hukum tentang prediksi terjadinya sengketa dalam akad yang berbasis ekonomi syari’ah. Keempat, para hakim harus meningkatkan wawasan dasar-dasar hukum dan peraturan perundang-undangan serta konsepsi dalam fiqh Islam tentang ekonomi syari’ah.
Fenomena ini juga muncul bagi pelaku ekonomi syari’ah, yang selama ini menggunakan peradilan umum , badan arbitase atau bermusyawarah dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ahnya. Demikian juga bagi hakim di pengadilan agama yang selama hanya menangani kasus-kasus masalah-masalah perceraian, waris, hibah, waqaf dan sedekah, dituntut untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang penyelesaian sengeketa dalam ekonomi syari’ah.
Hakim dalam menjatuhkan putusannya dituntut untuk mendasarkan pada ketentuan hukum. Ketentuan hukum tentang ekonomi syari’ah belum diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai hukum materiilnya. Oleh karena itu dalam perkara sengketa ekonomi syari’ah masih dimungkinkan terjadinya kekosongan hukum. Pada hal semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pas. 23 UU No. 14 tahun 1970, 184 ayat (1), 319 HIR, 195 dan 618 Rbg). Alasan-alasan itu dimaksudkan sebagai pertanggungan jawab hakim atas putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi, dan ilmu pengetahuan, sehingga putusan tersebut mempunyai nilai objektif dan wibawa Berdasarkan latar belakang masalah, maka permasalahannya adalah problimatika dan implementasi pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berkaitan dengan penyelesaian sengketa Ekonomi Syari’ah di lingkungan Peradilan Agama Jawa Tengah
Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah :
1. Untuk mengetahui implementasi dan problematika pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berkaitan dengan penyelesaian sengketa Ekonomi Syari’ah di lingkungan Peradilan Agama Jawa Tengah
2. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah bagi pelaku ekonomi syari’ah sebelum ada UU No. 3 Tahun 2006 pasal 49 tentang kekuasan absolut penyelesaian sengketa Ekonomi Syari’ah
3. Untuk mengertahui respon hakim (pengetahuan, sikap, perilaku dan kesiapan) terhadap UU No. 3 Tahun 2006 Pasal 49 Tentang Kekuasaan Absolut Ekonomi Syari’ah di Pengadilan Agama
4. Untuk mengertahui kecenderungan yang dilakukan oleh para hakim dalam melaksanakan amandemen UU No. 3 Tahun 2006 pasal 49 tentang kekuasan absolut Pengadilan Agama tentang penyelesaian sengketa di bidang kegiatan Ekonomi Syari’ah
5. Untuk mengertahui persepsi (pengetahuan, sikap dan perilaku) pelaku ekonomi syari’ah terhadap UU No. 3 Tahun 2006 pasal 49 tentang kekuasan absolut Pengadilan Agama tentang penyelesaian sengketa Ekonomi Syari’ah

C. KAJIAN PUSTAKA
UU Nomor 3 Tahun 2006 memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk mengadili sengketa ekonomi syari’ah yang sebelumnya menjadi kompetensi Peradilan Umum. Dalam pasal 49 point i disebutkan bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syari’ah.
Dengan disahkanya Undang-Undang No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, maka wewenang mengadili sengketa ekonomi syariah menjadi wewenang absolut lembaga Peradilan Agama. Sebelumnya, wewenang ini menjadi wewenang Peradilan Umum, jika tidak diselesaikan di lembaga arbitrase.
Pada pasal 49 point i UU No 3/2006 disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.
Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi :
1. Bank syariah,
2. Lembaga keuangan mikro syari’ah,
3. Asuransi syari’ah,
4. Reasurasi syari’ah,
5. Reksadana syari’ah,
6. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,
7. Sekuritas syariah,
8. Pembiayaan syari’ah,
9. Pegadaian syari’ah,
10. Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan
11. Bisnis syari’ah
Apabila dilihat dari perspektif sistem hukum di atas, ada beberapa point yang harus segera diadakan dan dibenahi terkait penetapan perluasan kewenangan Pengadilan Agama untuk mengadili sengketa ekonomi syari’ah. Pertama, hukum materiil yang menjadi rujukan para hakim dalam memutus perkara ekonomi syari’ah belum tersedia. Hukum yang selama ini ada di lingkungan Pengadilan Agama hanya mengatur persoalan perkawinan, kewarisan, wakaf, wasiat dan hibah. Urgensi pembentukan hukum materiil berupa Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dikarenakan peraturan fiqh mengenai aspek mu’amalah ini sangat bervariasi, sehingga tidak mencerminkan asas unifikasi hukum, yang mengakibatkan sulitnya pencapaian kepastian hukum.
Kedua, hakim sebagai aparat penegak hukum di Pengadilan Agama perlu membekali dengan kemampuan penanganan sengketa ekonomi syari’ah yang beragam. Kapabilitas hakim mutlak diperlukan, karena hakim bukan sekedar corong UU, melainkan ia harus memahami, menafsirkan, dan menggali nilai-nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan pemikiran hukum dalam madhhab common law yang berkembang di negara Anglo Saxon,[1] yang mengatakan bahwa hukum yang sebenarnya adalah keputusan hakim itu sendiri, bukan aturan legal formal yang ada di dalam teks Undang Undang.
Ketiga, untuk menunjang efektifitas penegakan hukum dalam konteks sengketa ekonomi syari’ah, kesadaran hukum masyarakat menjadi elemen yang penting. Masyarakat bukan saja sebagai salah satu sumber nilai keadilan, melainkan juga bertindak sebagai pengguna (stakeholder) atas peraturan itu. Sebagai pencari keadilan (justitiabelen), masyarakat dan para pelaku bisnis syari’ah mengharapkan sengketa ekonomi syari’ah yang dialaminya dapat diselesaikan secara tepat dan merepresentasikan keadilan.
Berdasar paparan di atas, kata kunci keberhasilan dalam merespon perluasan kewenangan Pengadilan Agama ini, adalah perlunya segera dibentuk Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES). Formulasinya harus menggunakan metodologi hukum Islam (ushul al-fiqh) dan falsafah hukum Islam (al-maqashid al-syari’ah), sehingga mampu menampung aspirasi hukum serta keadilan masyarakat. Karena itu diharapkan KHES dapat berperan sebagai alat perekayasa (social engineering) masyarakat muslim Indonesia, khususnya dalam bidang ekonomi syari’ah.
Kebutuhan pembentukan KHES di Indonesia dipandang sangat mendesak, karena praktek ekonomi syari’ah telah dipraktekkan di masyarakat. jangan sampai terjadi kekosongan hukum dalam bidang ekonomi syari’ah, atau masih menggunakan peraturan lain (BW) yang tidak sesuai dengan jiwa syari’ah dan nilai aktualitas.
Keberhasilan pelaksanaan kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili bidang ekonomi syari’ah terpengaruh juga oleh persepsi hakim terhadap UU No 3 tahun 2006.[2] Persepsi ini akan membentuk image yang positif yang akhirnya akan termanifestasikan dalam kinerja yang berkualitas. Sebab menurut Dr. Abdul Manan, seorang hakim agung MARI,[3] upaya untuk mewujudkan budaya hukum, diperlukan dua komponen utama yaitu substansi aturan hukum dan aparat penegak hukum profesional yang imparsial. Menurut Friedmann,[4] budaya hukum atau the legal culture merupakan keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya masyarakat. Budaya hukum merupakan bahan bakar penggerak keadilan (the legal culture provides fuel for the motor of justice).
Kalau peraturan nya sudah diketemukan, maka peraturan hukum itu kemudian diterapkan pada peristiwa hukum kongkritnya. Kalau ada pelbagai kemungkinan kualifikasi atau terjemahan yuridis dari peristiwa kongkritnya maka pada penerapan peraturan nya terdapat pula pelbagai kemungkinan konstruksi yang harus dipertimbangkan mana yang akan dipilih, sehingga idea das recht (keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dapat . Melalui pola berfikir yang dikembangkan oleh peneliti, memungkinkan bagi hakim dalam menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah, yang walaupun secara yuridis masih banyak yang belum diatur ketentuannya dalam peraturan perundang-undangan, namun perkara ekonomi syari’ah akan tetap terselesaian.Oleh karena itu persepsi hakim terhadap UU Nomor 3 Tahun 2006 mempunyai makna yang penting, terutama apabila dilihat dari perspektif sistem hukum di atas. Dibandingkan dengan kedua unsur yang lain, hakim sebagai aparat penegak hukum mempunyai peran yang signifikan. Karena di tangan hakimlah, lahirnya hukum yang sebenarnya. Kalau teks undang-undang masih berupa hukum in abstracto yaitu hukum yang masih belum jelas, maka setelah diputuskan oleh hakim menjadi hukum yang nyata (in concreto). Menurut A. Wasit Aulawi,[5] proses ini disebut operasionalisasi atau aktualisasi hukum dalam kehidupan masyarakat yang realistis.

D. Metode Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah UU N0 3 Tahun 2006 yang merupakan hasil amandemen UU No. 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama khusunya pasal 49 yang menyangkut sengketa ekonomi syari’ah, sedangkan subjek penelitian adalah hakim pada Pengadilan Agama dan masyarakat pencari keadilan dalam hal ini adalah pelaku ekonomi syari’ah sebagai unit analisis.
Sampel penelitian diambil dari populasi dalam penelitian, yang terbagi dalam dua kelompok sampel :
1. Responden hakim pada 36 Pengadilan Agama di Jawa Tengah dengah jumlah 380 hakim[6], di mana seluruh hakim pengadilan agama Jawa Tengah diminta jawaban tentang persepsi dan kecenderungan hakim dalam melaksanakan UU No. 3 Tahun 2006 pasal 49 tentang kekuasan absolut Pengadilan Agama tentang penyelesaian sengketa Ekonomi Syari’ah. Agar kuesioner yang dikirim mendapatkan respon baik, upaya yang dilakukan peneliti adalah dengan melampiri surat permohonan penelitian antara lain dari:
a. Surat pengantar penelitian dari Pembantu Rektor II IAIN Walisongo dengan nomor surat: In.06.1/R.II/TL.03/0914/2007 dan surat pengantar dari Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kota Semarang nomor surat: 070/651/VI/2007. Ke dua surat pengantar tersebut bertujuan agar dapat memberi keyakinan kepada hakim atau pimpinan perusahaan ekonomi syari’ah bahwa penelitian ini benar-benar untuk kepentingan akademis.
b. Executive summary proposal penelitian, dimaksudkan agar hakim sebagai responden mendapatkan gambaran umum, tujuan maupun manfaat penelitian.
c. Untuk reponden atau hakim Pengadilan Agama Kota Semarang, Pengadilan Agama Demak, Pengadilan Agama Kendal dan Pengadilan Agama Purwodadi, Pengadilan Agama Ambarawa, pengumpulan data dilakukan dengan mendatangi responden dan kontak person secara langsung. Sedangkan untuk Pengadilan Agama lainnya dilakukan dengan menggunakan kontak person, kurir dan pos (mail sensus). Amplop kiriman balasan untuk lebih memudahkan hakim dalam pengembalian kuesioner.
d. Dalam jangka waktu sekitar dua bulan , dari 380 kuesioner yang dikirimkan ke Hakim – hakim Pengadilan Agama Jawa Tengah sebagai target, sebanyak 156 Hakim yang memberi jawaban, baik melalui kontak perseon, kurir maupun surat menyurat, sedangkan sisanya sebesar 224 hakim dianggap gugur karena tidak memberikan jawaban dengan tidak diketahui alasannya.
2. Pelaku ekonomi syari’ah di Jawa Tengah sebanyak 30 orang. Menurut UU No. 3 Tahun 2006 pasal 49 tentnag kekuasan absolut Pengadilan Agama tentang penyelesaian sengketa Ekonomi Syari’ah terdapat 11 bidang usaha ekonomi syari’ah, namun dalam penelitian ini tidak semua bidang yang dimintai tanggapannya mengenai UU No 3 Tahun 2006 hanya bidang ekonomi syari’ah yang berada di Kota Semarang
Adapun kuesioner yang digunan untuk penugumpulan data menggunakan semi terstruktur, maksudnya ada kuesioner yang sifatnya terbuka di mana responden bebas menjawab pertanyaan dan kuesioner tertutup di mana jawaban atas kuesioner sudah disediakan dalam penelitian ini. Kuesioner penelitian di sebarkan secara langsung mendatangi responden, melalui kontak person dan membentuk teamwork..
Pada dasarnya analisis data yang digunakan adalah explorasi, namun karena ada dua pendekatan yaitu pendekatan normatif dan empiris dalam penelitian ini maka data yang terkumpul melalui kuesioner dianalisis dengan menggunakan fasilitas SPSS (Statistic package for social sciences) dengan Sedangkan data yang berasal dari Undang-Unadang dilakukan dengan metode analisis deskriptif normatif.


E. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
1. Untuk mengetahui implementasi dan problematika pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berkaitan dengan penyelesaian sengketa Ekonomi Syari’ah di lingkungan Peradilan Agama Jawa Tengah. Implementasi UU No 3 tahun 2006 pasal 49 khususnya berkaitan dengan sengketa ekonomi syri’ah sebenarnya tidaklah terdapat problem yang berarti secara teknis hakim, mengingat hakim tidak harus tahu hukum, tetapi hakim hanya dituntut untuk mengetahui permasalahan hukumnya saja, jika sudah diketahui haukumnya hakim tinggal mencari dan atau menanyakan kepada ahli hukum. Sebagaimana putusan No. register PA Purbalingga dan telah diputus dengan Putusan Nomor: 1047/Pdt.G/2006/PA. Pbg.
Problematika yang muncul hanya berkaitan dengan belum adanya peraturan perundang-undangan tentang ekonomi syari’ah yang bersifat khusus, menjadikikan hakim di Pengadilan Agama, harus berjuang keras menggali dan menemukan hukum dalam berbagai sumber hukum yang berserakan, baik ada dalam peraturan perbankan, hukum perjanjian, yurisprudensi maupun doktrin. Selain itu kurangnya sosialisasi UU No 3 tahun 2006, minimnya kegiatan yang dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah, serta kurangnya kesadaran hukum masyarakat.

2. Penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah bagi pelaku ekonomi syari’ah sebelum ada UU No. Tahun 2006 menunjukkan bahwa 76% responden (pelaku ekonomi syari’ah) menyatakan sebelum adanya UU No.3 Tahun 2006 sengketa ekonomi syariah diselesaikan dengan musyawarah, 17% diselesaikan di pengadilan negeri, 7% melalui mediasi dan tidak ada satupun yang menyelesaikan dibadan abritase nasional.

3. Respon Hakim (pengetahuan, sikap, perilaku dan kesiapan) terhadap UU No. 3 Tahun 2006 Pasal 49 Tentang Kekuasaan Absolut Ekonomi Syari’ah di Pengadilan Agama
i. pengetahuan hakim terhadai 11 bidang ekonomi syariah menunjukkan rata-rata 71,15%, sedangkan untuk bidang reksadana, olbigasi, sekuritas syariah pengetahuan hakim hanya mencapai 56,42% .
ii. sikap hakim terhadap implementasi UU no. 3 tahun 2006 menyatakan setuju 85,89% menyatakan setuju dan 14,11% lihat kasus. Lasana terbesar karena sudah diUndang-Undankannya dan menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama penyelesaian sengketa ekonomi syariah
iii. prilaku hakim dalam implementasi UU No. 3 tahun 2006 menunjukkan bahwa 86,53% hakim akan menerima sengketa 11 bidang ekonomi syariah sedangkan 13,47% lihat kasus.
iv. kesiapan hakim menunjukkan rata-rata 79,48% hakim menyatakan siap karena hakim tidak oleh menolak perkara dengan dasar tidak ada hukumnya.

4. Kecenderungan yang dilakukan oleh hakim dalam melaksanakan UU No. 3 Tahun 2006 pasal 49 tentang kekuasan absolut sengketa Ekonomi Syari’ah di Pengadilan Agama :
i. kecenderungan yang dilakukan oleh para hakim Pengadilan Agama dalam melaksanakan amandemen UU No. 3 Tahun 2006 adalah pelatihan dan pendidikan 47,43%, sedangkan yang ingin melanjutkan studi hanya 6,41%. Orang.
ii. dalam memutus sengketa ekonomi syariah, kecenderungan hakim memutus perkara berdasarkan pertimbangan para hakim 71,78%, berdasarkan pakar ekonomi syariah 16,67 persen serta lain-lain 7,67%.

5. Persepsi (pengetahuan, sikap dan prilaku) pelaku ekonomi syari’ah terhadap UU No. Tahun 2006
i. 60% responden mengetahui UU no. 3 tahun 2006, sedangkan 40% tidak tahu.
ii. 70% responden menyatakan setuju dengan UU No. 3 Tahun 2006 sedangkan 30% responden liaht kasus.
iii. 8,2% responden menyatakan mau menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama sedangkan 73% menyatakan lihat kasus.


F. DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta: Kencana, 2005, hal. 94.
Bustanul Arifin mengakui bahwa keberhasilan pelaksanaan tugas PA, antara lain dipengaruhi sejauhmana persepsi masyarakat terhadap keberadaan hukum yang ditangani PA. Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya, Jakarta, Gema Insani Press, 1996, hal. 87.
Abdullah, Abdul Gani-, 1987, Badan Hukum Syara’ Kesultanan Bima 1947–1957: Sebuah studi Mengenai Peradilan Agama. Disertasi, Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Algra, Mr. N.E., dan Mr. H.C.J.G. Jassen, Rechtsaanvang, Wolters-Noordhoff, Groningen, 1981.
Ahmad, Amrullah-, 1996, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Mengenal 65 Th. Prof. Dr. Bustanul Arifin, S.H., Gema insani Press, Jakarta.
Ali, Chidir-, 1979, Yurisprudensi Hukum Perdata Islam di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung.
Arikunto, Suharsimi-, 1998, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta.
Arto, Mukti-, 2000, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Al Jaziri, Abdul Rahman-, Kitab al Fiqh ‘ala al Mazhahib al Arba’ah, Juz IV, Dar al Kitab al Ilmiyah, Beirut, Libanan.
Basyir, Ahmad Azhar-, 1999, Hukum Islam di Indonesia Dari Masa Ke Masa, Muttaqien, Dadan, dkk., Peradilan Agama & Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Hal. 7-11, UII Perss, Yogyakarta.
Bisri, Cik Hasan-, 2000, Peradilan Agama di Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta.
---------------------, 1997, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Departemen Agama R.I.-, 1971, Laporan Bagian Projek Penelitian Jurisprudensi Peradilan Agama, Projek Peningkatan Penelitian/Survey Keagamaan Departemen Agama R.I.
Halim, Abdul-, 2000, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia dari Otoriter Konservatif Menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Harahap, Yahya, M.-, 2001, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Edisi ke dua, Sinar Grafika, Jakarta.
Lawrence M. Friedmann, “Legal Culture and Social Development” dalam Law and Society, Volume. 4, 1969. hal. 9.
Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Jakarta: Remaja Rosdakarya, 1993, hal. 30-32.
Lokakarya Teknis Yustisial dan Pembinaan Administrasi Peradilan Agama-, 1989, Buku Pedoman Kerja Bagi Hakim dan Panitera di Lingkungan Peradilan Agama, Pengurus Wilayah Ikatan Hakim Agama (IKAHA), Ujung Pandang.
Mahkamah Agung R.I.-, 1994, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, t.p.
Mahkamah Agung R.I.-, 1998, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, Edisi Revisi, Cetakan ke-3, t.p.
Mertokusumo, Sudikno-, 1983, Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangannya di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Bangsa Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
----------------------------, 1984, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Penyunting Kunthoro Basuki dan Retno Supartinah, Liberty, Yogyakarta.
---------------------------, 1996, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
Mertokusumo, Sudikno-, 1997, Asas-asas Hukum Acara Perdata Dalam Ilmu Hukum, Mimbar Hukum, No. 35, hal. 31-37.
---------------------------, 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
---------------------------, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
Lev, Daniel S-, Islamic Courts in Indonesia: A Study in The Political Bassses of Legal Institutions, University of Californiaa Press Berkeley. Los Angeles-London, Noeh, Zaini Ahmad-, 1980, Peradilan Agama Islam: Suatu Studi Tentang Landasan Politik Lembaga-lembaga Hukum, Intermasa, Jakarta.
Noeh, Zaini Ahmad dan Adnan, Abdul Basit,- 1983, Sejarah Singkat Pengadilan Agama di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya.
Notosusanto-, 1963, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Jajasan Badan Penerbit Gadjah Mada, Jogjakarta.
Patton, George Whitecross-, 1951, A Text-Book of Jurisprudence, Second Edition, Oxford at the Clarendon Press.
Pitlo-, 1978, Pembuktian dan Daluwarsa (alih bahasa, Arief, M.Isa) Intermasa, Jakarta.
Pound, Roscoe-, 1959, Jurisprudenci, Volume V Part 8. The Syistem Of Law, ST. Paul Minn, West Publishing Co.
Suhrawardi, 1999, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta.
Warkum Samitro, 2004, Azas-Azas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta












[1] Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Jakarta: Remaja Rosdakarya, 1993, hal. 30-32.
[2] Bustanul Arifin mengakui bahwa keberhasilan pelaksanaan tugas PA, antara lain dipengaruhi sejauhmana persepsi masyarakat terhadap keberadaan hukum yang ditangani PA. Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya, Jakarta, Gema Insani Press, 1996, hal. 87.
[3] Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta: Kencana, 2005, hal. 94.
[4] Lawrence M. Friedmann, Loc. Cit.
[5] A. Wasit Aulawi, “Sejarah Perkembangan Hukum Islam” dalam Amrullah Ahmad (ed), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hal. 54.
[6] Data base Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah

Tidak ada komentar: