Rabu, 02 Januari 2008

SEBUAH CATATAN TENTANG : REKONTRUKSI PARADIGMA PENELITIAN AGAMA

MUKADIMAH
Sebelum mengupas lebih mendalam , alangkah baiknya perlu kita pahami pemaknaan paradigma dalam penelitian agama yang menjadi pokok bahasan. Kata paradigama berasal dari para dan digma. Digma dimaknai sebagai dogma, yang secara epistimologis, ontologis ataupun aksiologis jelas-jelas berbeda. Istilah dogma sebenarnya terkait pada daerah putih yang merupakan zona terlarang yang disakralkan dan tidak bisa diganggu-gugat, karena dogama itu merupakan sesuatu yang dipandang benar, karena bersumber dari kitab suci. Dipihak lain Si Pemberi makna digma, belum menemukan makna digma baik dalam kamus atau kitab suci, sehingga ia berusaha mengaburkan pemaknaan digma ke daerah abu-abu. Dengan kemajuan IPTEK melalui pendekatan metodologi di dunia empiris, penguasa daerah putih yang dihuni oleh penghayat-penghayat agama yang merupakan benteng yang kuat dan sulit ditembus, diserang habis-habisan dari segala penjuru dalam kemasan IPTEK. Sehingga menyebabkan penguasa daerah tersebut mulai merasa terusik dan terdesak, sampai-sampai ia berikarar mati sahid demi mempertahankan dogmanya. Oleh karena itu ia sangat radikal dalam merespon segala bentuk ide atau gagasan yang berasal dari luar daerahnya.
Sedangkan para dalam kamus bahasa diartikan disamping, mendahului atau melandasi sesuatu yang sudah dikenal, biasanya terkait dengan dimensi batin. Merujuk pada pendapat Hidayat, yang menyatakan paradigma sebagai kerangka dogmatik, benih pikiran, yang menghubungkan antara dimensi-dimensi ghaib dengan dimensi-dimensi dhair, dan dengan kerangka dogmatika itulah manusia membangun aqidah berpikir menjadi pohon pikiran yang menjadi metodologi dan IPTEK.
Sebagai pihak penengah, penulis berusaha berada ditengah-tengah daerah konflik dengan berbagai upaya mengkaji, mendalami bahkan mereduksi pemaknaan paradigma yang dapat diterima oleh ke dua penguasa. Bagaimana pemaknaan paradigma dapat mengakomodasi pikiran-pikiran empiris-ilmiah dengan pikiran agamis yang menjadikan satu kesatuan pola pikir yang terintegrasi dalam suatu tingkat kesadaran manusia yang menghasilkan suatu metodelogi baru. Disinilah diharapkan adanya kearifan dan kebijakan kedua pengusaha dalam mengendalikan egoistisnya, untuk kerjasama saling bahu-membahu . Menurut penulis, penguasa putih perlu melihat secara holistik pemikiran pengausa abu-abu dalam rangka perkembangan dan kemajuan ilmu-ilmu agama yang selama ini terkesan mandeg. Demikian sebaliknya, penguasa abu-abu perlu berkaca pada pada penguasa putih sebagai nilai kontrol moralitas dalam mengahadapi retitensi gelombang globalisiasi yang semakin merajalela disemua aspek IPTEK termasuk dalam metodologi penelitian. Untuk itu perlu kita sepakati bahwa benteng terakhir untuk menghadapi arus globalisasi yang tersembunyi dibalik metodologi penelitian agama dari kedua penguasa harus merujuak pada Alqur’an.
Perdebatan tentang paradigma diatas , membawa dampak langsung pada pengembangan metodologi penenlitian agama, sehingga terkesan penelitian agama bersifat mendua. Disuatu sisi, penelitian sebagai cara mencari kebenaran agama yang sifatnya dogmatis. Disisi yang lain , penelitian agama untuk menemukan kebenaran dari realitas empiris. Pertentangan kedua paham paradigma dalam penelitian agama dalam rangka mencari kebenaran, paham realitas dogmatis lebih mengutamakan dalil-dalil naglinya yang subtantif dan indetreministik kedalam kebenaran itu sendiri, sedangkan paham realitas empiris lebih mengutamakan instrumentalistik dalil-dalil aqlinya dalam mencari kebenaran . Secara dogmatis agama merupakan bentuk sakralisiasi tekstual yang kebenarannya tidak boleh diganggugugat, dalam paradigma ini penelitian agama tidak akan mengalami perubahan dan perkembangan, yang terjadi hanyalah kemandekan ilmiah pada ilmu-ilmu keagamaan. Untuk itu menurut penulis alangkah bijaknya kita tidak terlalu kaku meredifinsikan dogmatik dalam pengembangan ilmu agama yang empiris dan realistis, agar tercapai suatu metamorfosa ilmu dalam mencari kebenaran yang sifatnya ilmiah dan hakiki.
Karena itu penelitian agama perlu membuka diri dan bahkan belajar dari relitas empiris bagaimana proses mencari kebenaran itu sendiri dengan menggunakan berbagai metodedologi yang biasa digunakan di dunia empiris tanpa menaggalkan aspek dogmatnya.
Selama ini banyak sekali penelitian agama yang hanya mengakaji aspek tekstual dogmatik : misalkan dalam bidang zakat. Banyak peneliti agama yang masih mempermasalahkan tektulistas dari berbagai pandangan tokoh agamis (yang sudah meninggal atau masih hidup) bahkan dipertentangankan dari berbagai mazhab dengan mengesampingkan apa yang terjadi dalam realitas sosial keagamaan masyarakat. Misalkan bagaimana kajian empiris tentang persepsi masyarakat tentang zakat, faktor-faktor yang mempengaruhi minat orang berzakat, bagaimana mengoptimalkan zakat, bagaimana pengaruh kinerja zakat terhadap kemakuran umat , hubungan antara zakat dan pengentasan kemikinan dan banyak lagi. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyan tersebut, tidak bisa di jawab dengan tekstual dogmatik, tapi bisa kembangkan dengan kajian-kajian empiris dengan menggunakan berbagai kombinasi metodologi.
Hal ini belum lagi masuk pada penelitan agama dalam perspektif ekonomi, yang jelas-jelas mengutamakan aspek behaviour dogmatik dari pada aspek afektif dan kognitif dogmatik. Mengacu pada hadits ” antum a’lamu bi umuri dunyakum” yang artinya kamu lebih tahu tentang urusan duniamu. Maka kiranya penelitian-penelitian agama yang menyangkut behaviour dogmatik tidak bisa hanya dijelaskan melalui kajian-kajian tekstual dogmatik , melalui pendekatan-pendekan realitas empiris dengan mengunkan pendekatan posifistik perlu dikembangkan agar tidak terjadi distorsi dalam kajian-kajian ilmu sosial kagamaan.
Perkembangan yang terjadi di dunia empiris, belum banyak direspon positif oleh kalangan perguruan tinggi agama Islam (PTAI) sebagai lembaga Pendidikan Tinggi Islam yang mempunyai komitmen yang tinggi terhadap kajian dan pengembang ilmu-ilmu sosial keagamaan. untuk itu diperlukan kebijakan bagi pengambil kebijakan khususnya Departemen Agama dalam usaha memberi angin segar, dengan penuh harapan terhadap pengembangan ilmu-ilmu sosial keagaman baik dalam paradigma ataupun dalam metodologi. Dengan gagasan-gagasan yang revolusioner dalam mengembangkan kajian-kajian ilmu keagamaan yang berorientasi pada realitas empiris dengan menggunakan pendekatan posifistik kuantitatif dalam rangka penyempurnaan konsep, teori dan paradigma metodologis penelitian agama dalam menjelaskan feomena-fenomena sosial keagamaan yang selama ini sulit ditembus dengan pendekatan-pendekatan empiris kuantitatif yang obyektif tanpa menanggalkan aspek normatif.
Demi membangun suatu model penelitian keagamaan yang kontruktif dalam kerangka pola berpikir kreatif dan inovatif , perlu kearifan dari kedua penguasa, baik penguasa putih dan abu-abu dengan tujuan yang diimpi-impikan bersama yaitu : mengembangkan metodologi penelitian agama dalam suatu bingkai paradiga dogmatik yang sesuai dengan realisa empiris. Terima kasih.

1] Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo , Sekretaris Program Studi Ekonomi Islam Jurusan Muamalah yang menggeluti bidang metodologi penelitian

Tidak ada komentar: