Rabu, 02 Januari 2008

MEMBANGUN KEPUASAN PENCARI KEADILAN DI LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA

ABSTRACT
What became the background of this research was the availability of a report from National Ombudsman Commission (2005) which stated that judicial institution was in the fifth rank of most often reported institutions after the prosecution. The substance of the report showed that most people who made reports were not satisfied with service. Religious court, which is one of holders of the power of justice, showed an increase in cases year by year. An increase in the number of cases was one of indicators of improvement in the service performance of religious court. Similarly, the number of cases which were decided increased year by year. This showed that judges of religious court were increasingly professional in performing their tasks and duties in settling cases.
This research aimed at: (1) analyzing the service performance of religious court, (2) knowing judges’ professionalism in the perception of the society who sought for justice and judges, (3) knowing the difference of professionalism between judges, (4) knowing the influence of judges’ professionalism service on the satisfaction of the society who sought for justice, (5) knowing a correlation between judges’ professionalism and the satisfaction of the society who sought for justice.
A methodology used in this research was: Population and Sample. First, 6 religious courts were chosen from 36 religious courts in Central Java by using a technique of stratified random sampling based on categories of Class IA, IB and IIA. Second, 150 members of the society who sought for justice or those who were involved in lawsuits by using a technique of convenience random sampling. Third, 60 judges in 6 religious courts by using a method of census.
To analyze the first aim, Society Satisfaction Index (IKM) was used, while for the second and third aims, Judge’s Professionalism Index (IPH) was used. To analyze the fourth aim, a non-parametric statistical analysis of Wilcoxon was used. For the fifth aim, a technique of Structural Equation Modelling (SEM) from AMOS 4 was used. And to analyze the sixth aim, a statistical analysis of Kendal’s Tau test was used.
From the result of the data computation, it could be concluded that (1) service performance in religious court was in the category of good, but there were several indicators which needed improvement in order to become an excellent service, among them were: service procedure, service speed, the certainty of cost, and the convenience of service; (2) the performance of judges’ professionalism in the perception of the society was good, but there were several which needed to be improved so that judges were increasingly professional, namely judges’ skill, especially in the indicator of: training and social responsibility of the profession which needed to be improved; (3) there was a difference of the perception of judges’ professionalism between the society who sought for justice and judges, but the difference was not big enough, this was proved by the result of Judge’s Professionalism Index which showed that both shared the category of good; (4) there was a positive and significant influence of service and professionalism on the satisfaction of the society who sought for justice, and the influence of judges’ professionalism was bigger than the influence of judges’ service; (5) there was a positive and significant correlation between judges’ professionalism and the satisfaction of the society who sought for justice, this indication was proved by a decrease in the number of cases which was brought into cassation year by year.
Keywords: service, judges’ professionalism, the satisfaction of the society who sought for justice, religious court.

A. Pendahuluan
Penyelenggaraan pelayanan yang dilaksanakan oleh lembaga peradilan dalam sektor pelayanan, terutama menyangkut pemenuhan hak-hak masyarakat pencari keadilan, kinerjanya masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat antara lain banyaknya pengaduan atau keluhan dari masyarakat pencari keadilan, seperti tidak profesionalnya aparat hukum (Hakim) , prosedur dan mekanisme kerja pelayanan berbelit-belit, tidak transparan , kurarng akomodatif dan kurang konsisten. Menurut laporan Komisi Ombudsman Nasioanal lembaga peradilan termasuk peringkat lima institusi terlapor terbanyak setelah Kejaksaan. Subtansi laporan sebagian besar pelapor tidak puas dengan pelayanan.
Peradilan Agama merupakan salah satu pemegang kekuasaan kehakiman, menunjukkan peningkatan perkara. Pada tahun 2003 terdapat 45.763 perkara naik pada tahun 2004 menjadi 47.847 atau naik 4,55 persen, dan tahun 2005 naik menjadi 50.481 perkara atau naik 5,51 persen. Naiknya jumlah perkara di Peradilan Agama mengindikasikan kinerja pelayanan di Peradilan Agama menunjukkan peningkatan kinerja pelayanan. Demikian juga kinerja Hakim pada Peradilan Agama menunjukkan peningkatan hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah perkara yang diputus setiap tahunnya. Jumlah perkara yang diputus Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2005 . Pada tahun 2003 terdapat 36.989 perkara yang diputus, mengalami peningkatan pada tahun 2004 menjadi 38.290 perkara atau naik 3,52 persen . Pada tahun 2005 perkara yang diputus meningkat menjadi 40.965 atau naik 6,98 persen Meningkatnya jumlah perkara yang diputus oleh Hakim menunjukkan semakin profesionanya Hakim melaksanakan tugas dan kewajiban dalam menyelesaikan perkara-perkara yang masuk di Peradilan Agama dengan adil dan benar , yang dapat memuaskan masyarakat pencari keadilan.
Berdasarkan kondisi-kondisi yang telah diuraikan, dapat diperoleh gambaran latar belakang situasional dan kondisional atas permasalahan pada lembaga peradilan, maka dengan meningkatkan pelayanan dan profesionalisme Hakim dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat dama mencari keadilan. Berdasarkan latar belakang masalah, maka tujuan penelitian adalah (1) Untuk mengetahui kinerja pelayanan pada Lembaga Peradilan Agama Jawa Tengah (2) untuk mengetahui profesionalisme Hakim pada Lembaga Peradilan Agama Jawa Tengah dalam persepsi masyarakat pencari keadilan (3) Untuk mengetahui profesionalisme Hakim pada Lembaga Peradilan Agama Jawa Tengah dalam persepsi Hakim (4) Untuk mengetahui hubungan antara profesionalisme Hakim dengan kepuasan masyaakat pencari keadilan


B PELYNAN PUBLIK
Dalam Keputusan Menpan No. KEP/25/M.PAN/2204 yang dimaksud pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan publik yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan, maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan. Menurut Pedoman Sistem Pelayanan Terpadu Mahkamah Agung (2004) pelayanan lembaga peradilan adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh lembaga peradilan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat pencari keadilan, maupun sebagai pelaksana ketentuan pearturan perundang-undangan.
Berdasarkan Keputusan MEN. PAN NO: 63/KEP/M.PAN/7/2003 terdapat 14 unsur yang relevan, valid dan reliabel dalam mengukur kepuasan masyarakat antara lain : (1) prosedur pelayanan (2) persyaratan pelayanan (3) kejelasan petugas pelayanan (4)kedisiplinan petugas pelayanan (5) tanggung jawab petugas pelayanan (6) Kemampuan petugas pelayanan (7) kecepatan pelayanan (8) keadaan mendapatkan pelayanan (9) kesopanan dan keramahan petugas (10) kewajaran biaya pelayanan (11) kepastian biaya pelayanan (12) kepastian jadwal pelayanan (13) kenyamanan lingkungan dan (14) keamanan pelayanan,
Ke empat belas unsur pelayanan diatas, dijadikan dasar untuk mengukur tingkat kepuasan penyelenggaraan pelayanan publik melalui indek kepuasan masyarakat. Pengukuran indek kepuasan masyarakat diperlukan untuk mengetahui perkembangan kinerja pelayanan. Dengan harapan dapat terjadi hubungan timbal balik antara masyarakat dengan lembaga penyelenggara pelayanan dalam hal ini lembaga peradilan.
2. Profesionalisme Hakim
Menurut (Bernardi, 1994:68) profesional adalah tingkat penguasaan dan pelaksanaan terhadap knowledge, skill, dan character. Seorang yang profesional akan mempunyai tingkat dalam Webster New World Dictionary, kata profesi (profession) diartikan a vocation or occupation requiring advanced education ang training, and involving intellectual skills, as medicine, law, theology, engineering, teaching, etc . Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia Bahasa (Balai Pustaka, 1998) mengartikan profesi dengan : bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejujuran dan sebagainya). Abdulkadir (1997 : 58) merumuskan profesi sebagai pekerjaan tetap di bidang tertentu berdasarkan keahlian yang dilakukan secara bertanggung jawab dengan memperoleh penghasilan. Pekerjaan yang menjalankan profesi adalah profesional.
Oleh karena itu seorang Hakim dalam menjalankan profesinya dituntut untuk bertindak profesional. Ada beberapa indikator yang dapat terukur untuk mengetahui seoarang Hakim dikatakan profesional dalam menjalankan tugasnya, antara lain :
(1) Kecakapan yaitu seorang Hakim harus mempunyai derajat pengetahuan (knowladge) dan keterampilan (skill) tentang prinsip-prinsip dan prosedur hukum yang ada, serta bagaimana menerjemahkan dan menerapkan prisisp dan prosedur hukum tersebut. Hakim juga harus mampu meningkatkan kualitas prosedur dan adiministrasi Peradilan Agama melalui pengetahuan dan keterampilan dalam meningkankan kinerja seoarang Hakim, (2) Pengalaman, seorang Hakim harus mempunyai pengalaman sebagai dasar evaluasi terhadap performance Hakim dalam pemahaman subtansial tentang masalah-masalah hukum dan proses peradilan dan (3) Integritas yaitu seorang Hakim harus memiliki karakter atau kepribadian yang jujur, adil serta taat pada kaedah hukum dan kaedah moral serta diharapkan dapat mengesampingkan kepentingan kepentingan pribadi dan kepentingan politik partisan. ( Komisi Hukum Naional, 2006)
3 Kepuasan Pelayanan
Kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja pelayanan yang dirasakan dengan yang diharapkannya. Apabila kinerja tidak sesuai dengan harapan, maka masyarakat kecewa, bila kinerja sesuai harapan maka masyarakat puas. Tolak ukur kepuasan adalah terjadinya keseimbangan antara apa yang dirasakan dengan harapan. Kualitas yang dirasakan diperoleh : melalui pengalaman menggunakan jasa peradilan. Nilai yang dirasakan atas kualitas pelayanan yang terkait dengan harapan yang melekat pada jasa , yang meliputi nilai pelayanan, nilai karyawan,, dan citra. Nilai jasa di pengaruhi oleh nilai pelayanan peradilan, sedangkan nilai pelayanan terkait dengan fasilitas dan kemudahan yang ditawarkan serta informasi yang mudah. Nilai karyawan ditunjukkan dari kemampuan memberi pelayanan, citra dipengaruhi oleh persepsi tentang kinerja lembaga peradilan ( Ridwan et,al, 2004: 566). Jadi kepuasan pelayanan adalah hasil pendapat dan penelian masyarakat pencari keadilan terhadap kinerja pelayanan yang diberikan oleh aparatur penyelenggara pelayanan publik dalam hal ini Pengadilan Agama (KEP/M.PAN/7/2003: 72), baik pelayanan administrasi dan pelayanan hukum.

C. METODELOGI PENELITIAN
Pertama, Pengadilan Agama yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah 6 (enam) Pengadilan Agama dari 36 (tiga puluh enam) Pengadilan Agama se Jawa Tengah . Pengambilan Sampel ini didasarkan stratified random sampling berdasarkan katagori Kelas Pengadilan Agama yaitu Kelas IA, IB dan IIA. Yaitu : Pengadilan Agama Semarang, Kendal, Demak, Salatiga Ambarawa dan Kajen. Kedua, Sampel untuk masyarakat pencari keadilan (orang yang berperkara) ditentukan dengan menggunakan rumus : Untuk mendapatkan hasil sesuai dengan tujuan penelitian maka dalam penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 150 responden agar populasi terwakili oleh sampel yang tersebar dalam 6 (enam) Pengadilan Agama dengan menggunakan teknik confinience random sampling. Ketiga, sampel dalam penelitian adalah seluruh Hakim yang yang ada di 6 (enam) Pengadilan Agama yang terpilih (mewakili populasi) dalam penelitian ini dengan jumlah 60 Hakim dengan menguunakan metode sensus.
Untuk menganalisis data dalam penelitian ini, ada beberapa metode analisis yang digunakan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Untuk menganalisis tujuan pertama penelitian, yaitu untuk mengetahui kinerja pelayanan di Peradilan Agama digunakan indek kepuasan masyarakat (IKM) yang menggunakan 14 indicator .
Untuk menganalisis tujuan kedua dan ketiga penelitian, yaitu untuk mengetahui profesionalisme Hakim dalam persepsi Masayakat pencari keadilan dan persepsi Hakim , digunakan analisis Index Profesionalisme Hakim (IPH) yang menggunakan 3 (tiga) indikator profesionalisme
Untuk menguji tujuan penelitian keempat , yaitu untuk mengetahui perbedaan Profesionalisme Hakim menururt persepsi masyarakat pencari keadilan dengan persepsi Hakim, digunakan anaisis statistik non parametrik Wilcixon, dengan bantuan program SPSS . Sedangkan Untuk menganalisis tujuan kelima, menggunakan teknik Structural Equation Modeling (SEM) . Untuk menganalisis tujuan keenam penelitian, yaitu untuk mengetahui hubungan antara profesionalisme Hakim dengan kepuasan masyarakat pencari keadilan menggunakan analasis statistic Uji Tau Kenndal

D. HASIL DAN PEMBAHASAN
1 Kinerja Pelayanan Pengadilan Agama
Untuk menganalisis tujuan pertama penelitian yaitu mengetahui kinerja pelayanan pada 6 (enam) Pengadilan Agama di Jawa Tengah yang menjadi objek penelitian : Nilai indek unit pelayanan hasil penelitian sebagai berikut: Nilai IKM setelah dikonversi (nilai indeks x nilai dasar) 2,73279 x 25 = 68,31975. Jadi dapat disimpulkan. bahwa kinerja pelayanan pada Pengadilan Agama dalam katagori baik. Namun masih ada beberapa indicator pelayanan untuk menjadi pelayanan excellence ada beberapa prioritas perbaikan dari unsur-unsur pelayanan, antara lain:
1. Kecepatan pelayanan, secara empiris 48,7 persen responden menyatakan pelayanan di Pengadilan Agama kurang cepat. Menurut peneliti masih dalam batasan yang wajar, karena pelayanan yang ditawarkan oleh Pengadilan Agama mempunyai 2 (dua) dimensi pelayanan yaitu pelayanan hukum dan pelayanan adminsitrasi, sehingga pelayanan di Pengadilan Agama mempunyai karakteristik yang berbeda dengan pelayanan public lainnya. Khusus berkenaan dengan penyelesaian perkara, pembenahan-pembenahan telah dilakukan dimulai dari Mahkamah Agung. Sejak tahun 2006 lewat Sitem Informasi Mahkamah Agung RI (SIMARI) dengan nomor telpon (021) 384 9999 proses penyelesaian perkara dapat diakses oleh masyarakat pencari keadilan. Secara bertahap Sistem Informasi ini akan diterapkan keseluruh peradilan di Indonesia termasuk di Pengadilan Agama.
2. prosedur pelayanan. Secara empiris menunjukkan 49,3 persen responden menyatakan prosedur di Pengadilan Agama tidak mudah. Besarnya jawaban responden terhadap ketidakpuasan prosedur pelayanan, mengindikasikan masyarakat pencari keadilan banyak yang tidak mengetahui dengan jelas prosedur pelayanan di Pengadilan Agama, oleh karena itu kewajiban Pengadilan Agama mengkomunisikan dan menginformasikan prosedur pelayanan, baik melalui gambar, flow chart atau melalui bagian informasi (custumer service). Oleh karena itu prosedur pelayanan peradilan sekurang-kurangnya memuat (1) tata cara pengajuan permohonan pelayanan, (2) tata cara penanganan pelayanan, (3) tata cara penyampaian hasil dan (4) tata cara penyampaian pengaduan pelayanan. Untuk itu tugas dan kewajiban Pengadilan Agama untuk mempermudah prosedur pelayanan yang ada dengan beberapa cara : (1) dibuat alur atau flow chart yang dipasang diruangan pelayanan di setiap Pengadilan Agama tentang prosedur , syarat-syarat teknis dan administrasi agar masyarakat mengetahui dengan mudah dan jelas tahapan-tahapan yang harus ditempuh dalam rangka penyelesaian sesuatu pelayanan (2) transparasi artinya prosedur pelayanan harus transparan dan mudah diakses oleh masyarakat pencari keadilan, serta mudah dimengerti dengan menggunakan bantuan teknologi Informasi kalau perlu on line dan dapat diakses secara mudah oleh masyarakat umum, (3) membuat pedoman tentang prosedur pelayanan berupa standar pelayanan sebagai dasar ukuran kualitas pelayanan yang wajib ditaati oleh pemeberi dan penerima pelayanan. standar pelayanan dibuat harus realistis, jelas dan mudah dimengerti oleh para pemberi dan penerima pelayanan.
3. kepastian biaya, secara empiris menunjukkan 36 persen responden menyatakan bahwa biaya pelayanan yang ada di Pengadilan Agama tidak pasti. Besarnya jawaban responden terhadap ketidakpuasan terhadap kepastian biaya pelayanan, mengindikasikan bahwa kurang adanya transparansi mengenai besarnya biaya administrasi dan perkara di Pengadilan Agama. Sebagian masyarakat tidak mengetahui besarnya biaya pelayanan, untuk memperlancar proses pelayanan, masyarakat mula-mula dikenai biaya panjar yang besarnya bervariasi. Berdasarkan buku pedoman jenis biaya dan biaya perkara yang harus dibayar oleh masyarakat pencari keadilan harus didasarkan pada ketentuan yang berlaku. Sejak satu atap dengan Mahkamah Agung sampai adanya Undang-Undang No. 3 tahun 2006 petunjuk teknis tentang jenis dan besarnya biaya perkara sampai sekarang belum ada. Pada Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 pasal 90 ayat (1) biaya perkara meliputi:
a. biaya kepaniteraan dan biaya materai yang diperlukan untuk perkara tersebut;
b. biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya pengambilan sumpah yang diperlukan dalam perkara tersebut;
c. biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan pengadilan dalam perkara tersebut; dan
d. biaya pemanggilan, pemebritahuan, dan lain-lain atas perintah pengadilan yang berkenaan dengan perkara tersebut.
4 kenyamanan pelayanan. Secara empiris menunjuukan 34,7 persen responden menyatakan kurang nyaman atas pelayanan di Pengadilan Agama. Dilapangan ada beberapa keluhan dari responden antara lain : ruang tunggu yang kurang nyaman (tempatnya terbatas dan ruangannya sempit, panas, tidak ada bahan bacaan seperti koran atau majalah untuk mengisi waktu, ruaang tunggu sidang, tempatnya kurang bersih dan kurang rapi). Sebagian besar Pengadilan Agama mempunyai keterbatasan mengenai lahan yang sempit sehingga minimnya fasilitas pendukung seperti lingkungan yang indah, tempat parkir yang luas dan bahkan untuk tempat ibadah. Kondisi kantor yang sebagian besar merupakan bangunan lama dan belum terstandarkan seperti pada Peradilan Umum.. Sejak satu atap dengan Mahkamah Agung, sudah mulai ada peningkatan terutama besarnya anggaran dan bahkan bentuk kantor distandarkan seperti peradilan-peradilan lainnya. Pada Tahun 2005 anggaran belanja untuk seluruh peradilan sebesar Rp. 1.400.668.748.000 (satu trilyun lebih) meningkat Rp. 606.129.500.000 (enam ratus milyar) , menjadi Rp. 2.006.798.200.000 (dua trilyun lebih). Kenaikan Anggran Belanja ini berdampak langsung terhadap pengadaan dan pembangunan fasilitas pelayanan dalam rangka meningkatkan kenyamanan pelayanan bagi masyarakat pencari keadilan di Pengadilan Agama.
2 Indek profesionalisme Hakim (IPH) adalah setelah dikonversi 2,9254 x 25 = 73,84 yang berarti kinerja Hakim adalah profesional. Masyarakat pencari keadilan memandang bahwa profesioanalisme Hakim lebih banyak di pengaruhi oleh integritas (carakter) seorang Hakim. Secara empiris dapat dibuktikan nilai IPH untuk integritas Hakim adalah 3,213 dengan 71,3 persen responden menyatakan bahwa integritas Hakim yang ada di Pengadilan Agama adalah baik.
Sesuai dengan sumpah Hakim, dalam menjalankan profesinya Hakim harus mempunyai integitas dan etika moral , yang berasal dari ajaran agama Islam yang berguna bagi pembinaan akhlaqul karimah Hakim. Oleh karena itu seorang Hakim senantiasa bertindak jujur, adil, bijaksana, , tidak membeda-bedakan orang, dan berbudi luhur sesuai dengan sumpah Hakim . Dalam ajaran Islam, sumpah adalah pernyataan niat yang dikuatkan dengan menyebut nama Allah dan yang bersumpah harus bertanggung jawab terhadap sumpahnya, sedangkan Allah tidak menyukai orang-orang yang melanggar sumpahnya. Selain itu banyak Hakim di Pengadilan Agama juga berperan sebagai tokoh agama (mubaliq) dalam bermasayarakat. Hal ini ada hubungannya dengan historis Peradilan Agama, dimana Hakim Pengadilan Agama dahulu berasal dari kalangan atau tokoh agamis (Kyai) yang membawa corak tersendiri bagi integritas seorang Hakim .
3 Melihat hasil analisis data , maka dapat disimpulkan bahwa nilai indek profesionalisme Hakim (IPH) setelah konversi 3,1075 x 25 = 77,6875 masuk dalam katagori profesional. Pengalaman merupakan indikator yang paling kuat didalam menjelaskan profesionalisme. Untuk itu dalam rangka meningkatkan profesionalisme Hakim, ada beberapa yang harus diperhatikan, anatara lain:
Pertama. Hakim sebagai individu, dimana seorang Hakim harus dapat meningkatkan Kecakapannya sebagai seorang yang profesional karena secara empiris terbukti kecakapan mempunyai nilai IPH yang paling kecil. Salah satu upaya dengan cara meningkatkan tanggungjawab sosial profesi Hakim, karena secara empiris Hakim yang menjawab tentang tanggungjawab sosial profesinya, sangat kurang dan bahkan tidak pernah melakukan tanggung jawab sosial profesinya. Seorang Hakim tidak hanya bertugas menerima dan memutus perkara saja, tapi juga aktif dalam menuangkan ide-ide atau pikiran-pikiran dalam rangka memberi solusi dan memecahkan masalah-masalah hukum yang terjadi di masyarakat baik melalui tulisan dalam jurnal, artikel dan bahkan menulis sebuah buku sebagai bukti pengabdian sosial profesi seorang Hakim. Menurut Sawyer (2003) seorang yang profesional salah satunya indikatornya harus mempunyai tanggung jawab sosial profesi, berupa peningkatan pengetahuan dan keahlian yang baru baik didapat melalui buku-buku, Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan, dan bahkan juga aktif dalam penulisan artikel, jurnal dan penulisan buku.
Kedua. peningkatan kualitas dan profesionalisme Hakim perlu mendapat prioritas dengan peningkatan pendidikan dan pelatihan yustisial Hakim. Secara empiris banyak hakim yang kurang dapat mengikuti pelatihan yustisial. Kondisi ini membuat profesionalisme Hakim dilihat dari kecakapannya mempunyai nilai index yang paling kecil (lihat tabel 5). Ada beberapa faktor yang menyebakan tidak meratanya pendidikan dan pelatihan yang diikuti oleh Hakim: pertama: pelatihan yustisial yang diadakan oleh Mahkamah Agung dalam upaya meningkatkan kinerja Hakim, hanya diikuti oleh Ketua atau Wakil Ketua dan bahkan hanya diikuti oleh Hakim-Hakim tertentu saja. Sehingga banyak sekali Hakim yang lebih membutuhkan pendidikan dan pelatihan, mempunyai kesempatan kecil untuk mengikuti pelatihan dan bahkan banyak sekali Hakim yang belum mengikuti pendidikan dan pelatihan yustisial. Kedua ; keterbatasan anggaran pemyelenggaraan pendidikan dan pelatihan untuk seluruh Hakim di Lingkungan Pengadilan Agama Jawa Tengah yang berjumlah 380 Hakim yang dibiyayai dari APBN. Dampak krisis ekonomi yang sampai sekarang masih terasa, secara langsung berpengaruh terhadap penerimaan dan pengeluaran APBN, termasuk terbatasnya alokasi anggaran untuk pendidikan dan pelatihan Hakim di Mahkamah Agung. Angaran belanja negara yang diperuntukkan untuk Mahkamah Agung dari seluruh pengadilan dari ke empat lingkungan peradilan seluruh Indonesia pada tahun 2006 yang disetujui Rp. 2.006.798.200.000 (dua trilyun lebih) dari empat trilyun yang diajukan oleh Mahkamah Agung. Kenaikan anggaran tersebut masih jauh dari yang diperlukan oleh peradilan seluruh Indonesia. Sehingga pelaksanaan pendidikan dan pelatihan untuk Hakim dilaksanakan secara bertahap dan bahkan pesertanya dibatasi. Akibatnya banyak Hakim-Hakim Pengadilan Agama Jawa Tengah belum mendapatkan pendidikan dan pelatihan. Sebagai bentuk pertanggung jawaban sosial profesi, banyak sekali hakim yang mengikuti pendidikan dan latihan lanjutan dengan biaya mandiri. Ada beberapa Hakim yang mengikuti Program Doktoral dan bahkan sudah menyandang gelar Doktor, serta banyak para Hakim yang sedang dan bahkan sudah menyandang gelar Magister Hukum (S-2).
Sejak adanya adanya Undang-Undang Tahun 2006 pasal 49 tentang bertambahnya wewenang Peradilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah. Perluasan kewenangan itu memberi konsekuensi tersendiri bagi Pengadilan Agama, selain harus memiliki Hakim-Hakim khusus yang kapabel dalam menangani sengketa ekonomi syari’ah, para Hakim juga dituntut untuk memahami segala perkara yang menjadi kecakapannya. Selama ini para Hakim Pengadilan Agama hanya menangani masalah sengketa perkawinan, waris, wasiat; hibah, waqaf dan sadakah, sehingga wawasan dan pengetahuan Hakim Pengadilan Agama tentang ekonomi syari’ah sangat terbatas.
Sejak satu atap dengan Mahkamah Agung, telah memakan banyak perhatian, pikiran, tenaga dan waktu dalam berbenah diri ke dalam (internal) teknis dan manajemen kelembagaan Peradialan Agama termasuk pembenahan sumberdaya manusianya baik secara struktural maupun fungsional. Dari 8 (delapan) jabatan struktural eselon I di Mahkamah Agung baru terisi lima pejabat, dan sisanya dalam proses di Sekretaris Negara. Untuk struktur organisasi eselon II dan eselon dibawahnya sedang dalam proses penyelesaian bersama Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. Melihat pembenahan kedalam (intern) yang dilakukan oleh Mahkamah Agung atas kelembagaan Pengadilan Agama, sehingga pelaksanaan pendidikan dan pelatihan untuk Hakim belum mendapat prioritas utama dalam upaya peningkatan kualitas dan proesionalisme Hakim.

4 Hubungan Antara Profesionalisme Hakim dengan Kepuasan Masyarakat Pencari Keadilan
Untuk menganalisis tujuan keenam penelitian yaitu mengetahui hubungan antara profesionalisme Hakim dengan kepuasan masayarakat pencari keadilan digunakan analisis non parametrik Korelasi Kendallis menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara profesionalisme Hakim dengan kepuasan masyarakat pencari keadilan signifikan (α = 0,01) atau level of significance 1% atau confidence level 99%. Secara empiris dapat dibuktikan dengan jumlah perkara kasasi dari tahun ke tahun rata-rata menurun. Perkara kasasi merupakan salah satu indikator bahwa masyarakat yang tidak puas akan melakukan kasasi. masayarakat pencari keadilan yang tidak puas akan mengajukan banding dan bahkan kasasi untuk mencari keadilan. Pada tahun 2003 perkara banding 192 sedangkan perkara di Pengadilan tingkat pertama berjumlah 45.763 perkara . Jadi masyarakat yang tidak puas berjumlah 0,42 persen atau yang puas dengan putusan pengadilan tingkat pertama adalah 99,58 persen. Untuk tingkat kasasi 0,059 persen yang tidak puas atau 99,941 yang puas. Pada tahun 2004 perkara yang banding 204 dari 50.481 perkara Pengadilan tingkat pertama Jadi masyarakat yang tidak puas berjumlah 0,40 persen atau yang puas dengan putusan pengadilan tingkat pertama adalah 99,60 persen. Untuk tingkat kasasi 0,063 persen yang tidak puas atau 99,937 yang puas. Sedangkan untuk tahun 2005 perkara yang banding 181 dari 45.763 perkara Pengadilan tingkat pertama Jadi masyarakat yang tidak puas berjumlah 0,38 persen atau yang puas dengan putusan pengadilan tingkat pertama adalah 99,62 persen.
Untuk tingkat kasasi , pada tahun 2003 perkara kasasi mencapai 68 perkara atau 0,015 persen dari jumlah perkara yang ada pada pengadilan tingkat pertama. Pada tahun 2004 perkara kasasi mencapai 30 atau 0,06 persen sedangkan pada tahun 2005 terdapat 45 perkara atau 0,09 persen. Jadi prosentase jumlah perkara yang diterima oleh Pengadilan Agama tiap tahunnnya rata-rata yang mengajukan kasasi berjumlah 0,1 persen .
Jadi dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang merasa tidak puas akan mengajukan perkaranya sampai ke jenjang Mahkamah Agung (perkara kasasi). Sehingga secara empiris masyarakat pencari keadilan yang merasa tidak puas mencapai 0,1 persen sedangkan yang merasa puas dengan dengan pelayanan di Pengadilan Agama , baik pelayanan administratif dan pelayanan hukum hukum yang rata-rata mencapai 99,9 persen.

Tidak ada komentar: