Kamis, 03 Januari 2008

MENYOAL PROFESIONALSME AUDITOR INTERN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIH

A. PENDAHULUAN
Lembaga Keuangan Syari’ah di Indonesia telah menunjukkan perkembangan pesat selama dekade terakhir ini. . Disamping adanya dukungan pemerintah dan sambutan positif umat Islam yang besar, Lembaga Keuangan Syari’ah terbukti secara empiris tetap exist (tahan) dalam kondisi krisis ekonomi yang telah memporak-porandakan sendi-sendi ekonomi dan soial masyarakat. Sejak krisis ekonomi, pemerintah telah menutup 55 bank, disamping mengambil alih 11 bank (BTO) dan 9 bank lainnya dibantu direkapitalisasi. Dari 240 bank sebelum krisis kini hanya tinggal 73 bank swsata yang masih beroperasi. [2] Kondisi dan tingkat pertumbuhan ekonomi memungkinkan perkembangan Lembaga - Lembaga Keuangan Syari’ah, saat ini tercatat ada dua bank umum, 52 BPRS dan 1.300 BMT yang tersebar di seluruh Indonesia . Dari 1.300 BMT, terdapat 513 BMT atau (39,4%) yang berlokasi di Jawa Tengah (PINBUK Jawa Tengah, 2004). Namun dalam perkembangannya, BMT mengalami kesulitan bersaing dengan lembaga keuangan konvensional lainnya.
Dalam Penelitian Rahman (2005) menunjukkan dari 11 BMT yang tergabung dalam BMT forum Kota Semarang 54,55 persen tergolong cukup sehat dan 45,45 persen tergolong kurang sehat, sedangkan tidak ada BMT tergolong sehat. Sebagian besar BMT memiliki tingkat return on assets (ROA) dan current asset ratio (CAR) dibawah rata-rata. Hal ini disebabkan beberapa faktor. Pertama, aktivitas operasional BMT sebagian besar dibiayai dari simpanan yang masuk, bukan dari modal sendiri Karena besarnya simpanan ini mengakibatkan likuiditas BMT menjadi rendah. Kedua, besarnya simpanan membuat BMT harus menyediakan kontra prestasi berupa bagi hasil yang besar pula bagi nasabah yang menabung di BMT, hal ini juga menyebabkan perolehan laba tidak optimal. Tidak maksimalnya pembiayaan yang disalurkan oleh BMT menyebabkan laba yang dihasilan BMT menjadi tidak maksimal, karena melalui pembiayaan inilah sumber utama usaha bagi BMT untuk menghasilkan laba. Ketiga, rendahnya mutu sumberdaya manusia terutama auditor intern.[3]
Seorang auditor intern dapat mempengaruhi baik buruknya kinerja lembaga keuangan syari’ah. Kinerja perusahaan secara nyata dipengaruhi secara kumulatif oleh pengendalian intern yang efektif dan kualitas auditor intern. Auditor intern bertanggungjawab untuk menyediakan jasa analisis, informasi, evaluasi dan bakan rekomendasi kepada manajemen . Tanggung jawab auditor intern adalah memantau kinerja keuangan secara objektif dan profesional.
Untuk menjadi auditor intern yang profesional, seseorang harus memiliki kumpulan pengetahuan yang berlaku umum dalam audit intern yang dipandang penting sehingga ia dapat melaksanakan kegiatan dalam area yang cukup luas dengan hasil kerja yang memuaskan sesuai dengan kelima standar profesional yang ditetapkan oleh The Institute of Internal Auditor Standards (IIAS). Kelima standar profesional audit intern tersebut adalah independence, professional proficiency, scope of work, performance of audit work, dan management of the internal auditing department [4]; artinya independen, keahlian profesional, lingkup kerja, kinerja kerja audit, dan manajemen departemen audit intern.
Persoalan klasik yang selalu dihadapi oleh para pengelola Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) sebenarnya masih sama dari tahun ke tahun, yaitu tentang keterbatasan sumber daya manusia dari aspek kualitas terutama auditor intern. Belum adanya standar tolak ukur bagi auditor intern salah satu sebab BMT sulit bersaing dengan lembaga keuangan konvensional lainnya. Dalam The Institute of Internal Auditors-Research Foundation [5]: ada lima belas tolok ukur tersebut dapat dilihat pada Tabel 1



Sumber: The Institute of Internal Auditors-Research Foundation.
Profesionalisme merupakan salah satu elemen pokok yang penting di dalam lima belas tolok ukur yang digunakan sebagai dasar untuk mengevaluasi hasil kerja auditor intern , yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja BMT. Berdasarkan paparan diatas, penulis ingin mengetahui secara empiris bagaimana profesionalisme auditor intern yang ada pada lembaga keuangan mikro syariah dan factor-faktor apa mempengaruhi profesionalisme seorang auditor intern dalam upaya meningkatkan performance lembaga keuangan mikro syariah (BMT)

B. Kajian tentang Profesionalisme Auditor Intern
Definisi auditor intern Menurut Moeller (2005) adalah “Internal auditing is an independent appraisal function established within an organization to examine”; artinya audit intern memastikan fungsi penilaian independen dalam organisasi untuk memeriksa.[7] Boynton menjelaskan bahwa audit intern merupakan suatu kegiatan independen dalam menetapkan tujuan, merancang aktivitas konsultasi untuk menambah nilai, dan meningkatkan operasi perusahaan. Tujuan audit intern yaitu organisasi mencapai tujuan dengan jalan pendekatan terarah dan sistematis dalam menilai dan mengevaluasi keefektifan manajemen . Jadi Terdapat lima konsep kunci dari pengertian audit intern yaitu: (1) independent; (2) kegiatan penilaian; (3) audit diadakan dalam organisasi; (4) layanan jasa bagi organisasi; dan (5) pengawasan yang menguji dan menilai pengawasan lain.[8]
Sedangkan profesionalisme , sebagaimana menurut para tokoh dunia sering menggunakan istilah “profesionalisme” sebagai sarana untuk peningkatan prestasi dalam berbagai kegiatan usaha. Istilah “profesi” dan “profesionalisme” dapat dibedakan secara konseptual. Profesi merupakan jenis pekerjaan yang memenuhi kriteria, sedangkan profesionalisme merupakan suatu atribut seorang yang ahli dalam bidang tertentu. Profesi merupakan bidang pekerjaan yang dilandasi dengan pendidikan keahlian antara lain ketrampilan dan kejujuran tertentu. Istilah “profesi” sering diucapkan banyak orang dan istilah tersebut selalu dikaitkan dengan suatu pekarjaan. Sekalipun demikian tidak semua pekerjaan diakui sebagai suatu profesi. Pekerjaan yang selama ini diakui sebagai profesi diantaranya dokter, pengacara, dan akuntan. Sawyer menyatakan bahwa internal auditing telah memenuhi beberapa kriteria untuk disebut sebagai suatu profesi .[9]
Profesional adalah tingkat penguasaan dan pelaksanaan terhadap knowledge, skill, dan character. Seorang yang profesional akan mempunyai tingkat tertentu pada ketiga bidang tersebut. Perilaku profesional diperlukan bagi semua profesi, agar profesi yang telah menjadi pilihannya mendapat kepercayaan dari masyarakat [10]. Profesionalisme sebagai sikap dan perilaku seseorang dalam melakukan profesi tertentu. Ia menyebutkan bahwa seorang yang profesional, di samping mempunyai keahlian dan kecakapan teknis, harus mempunyai kesungguhan dan ketelitian bekerja, mengejar kepuasan orang lain, keberanian menanggung risiko, ketekunan dan ketabahan hati, integritas tinggi, konsistensi dan kesatuan pikiran, kata dan perbuatan.
Kalbers dan Fogarty telah menyusun teori mengenai lima elemen profesionalisme. “ Seseorang dapat dikatakan profesional apabila : (1) meyakini bahwa pekerjaannya sangat penting; (2) mempunyai komitmen untuk memberikan jasa kepada publik; (3) meminta otonomi dalam pelayanan jasa; (4) mendapatkan dukungan terhadap pengturan sendiri dalam pekerjaannya; dan (5) berafiliasi dengan para rekan sesama jenis pekerjaan di organisasi lain”. Kelima elemen profesional tersebut dideskripsikan oleh Kalbers dan Forgaty sebagai dedikasi terhadap profesi, tanggung jawab sosial, permintaan akan otonomi profesional, keyakinan atas pengaturan sendiri dalam pekerjaannya, dan afiliasi komunikasi .[11] Morrow dan Goetz mengungkapkan bahwa dimensi nyata dari profesionalisme seorang auditor independen adalah community affiliations, social obligation, self regulation, sense of calling, dan autonomy [12].

C. Potret Profesionalisme Auditor Intern Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah (BMT)
Untuk mengetahui bagaimana tingkat profesionalisme auditor intern yang ada lembaga keuangan mikro syariah (BMT), penulis mengembangkan ukuran profesionalisme dari Sawyer (2003) menggagas dengan 5 (lima) indikator antara lain : (1) afiliasi komunitas; 2) sertifikasi; (3) pendidikan dan pelatihan profesi ; (4) dedikasi pada profesi; dan (5) kewajiban sosial profesi:[13]
a. Afiliasi komonitas. Sebagian besar lembaga keuangan mikro syari’ah (BMT) tidak mempunyai suatu komonitas baik masuk sebagai anggota persatuan auditor intern Indonesia (PAII) atau IIA . Komonitas mereka hanya komonitas antar BMT sehingga wawasan, pengetahuan dan keahlian profesi mereka kurang berkembang, hal ini mempunyai pengaruh langsung terhadap perkembangang lembaga keuangan mikro syariah (BMT) di tempat mereka bekerja.
b. Sertifikasi yang dimiliki auditor inten. Dari pengamatan penulis, sebagian besar auditor intern yang ada pada lembaga keuangan mikro syariah (BMT) tidak memiliki sertifikasi akuntan yang dikeluarkan oleh lembaga profesi yang terakriditasi. Mereka bisa menjalankan tugas sebagai sebagai auditor intern, karena hanya berbekal pada pengalaman dimana mereka dipaksa untuk menguasai masalah-masalah tugas yang biasa dilakukan oleh seorang auditor intern. Hal ini bisa dilihat bagaimana masih terjadi permasalahan dalam laporan keuangan yang belum memenuhi standar sebagai laporan keuangan yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia.
c. Pendidikan dan pelatihan profesi. Minimimnya kegiatan dan pelatihan yang diikuti atau diadakan oleh lembaga keuangan mikro syariah (BMT) menyebabkan sebagian besar auditor intern kurang professional. Di Jawa Tengah, tidak berfungsinya PINBUK sebagai induk organisasi BMT-BMT, menyebabkan kegiatan peningkatkan mutu dan kualitas sumber daya manuusia terutama auditor inter terabaikan dan tidak terurus. Hal ini memperparah kondisi profesionalisme auditor intern yang ada pada BMT-BMT
d. Dedikasi pada profesi, menyangkut keaktifan dan kehadiran dalam kegiatan profesi. Melihat tidak adanya ikanan auditor intern di kalangan lembaga keuangan mikro syari’ah (BMT) dan bahkan tidak berfungsinya lembaga induk BMT yaitu PINBUK, para auditor intern pada BMT tidak bisa menunjukkan dedikasi pada profesinya. Memang ada pertemuan atau konferensi antar BMT yang diadakan minimal 1 bulan sekali, namun yang dilibatkan dalam pertemuan itu hanyalah manajer-manajer BMT tanpa melibatkan auditor internnya. Sehingga profesionalisme auditor inter yang ada sangat terbatas baik dalam hal; pengalaman, wawasan dan bahkan keahliannya.[14]
e. kewajiban social profesi yang diukur dengan sejaumana keakitfan auditor intern lembaga keuangan syarian (BMT) menyumbangkan pemikiran-pemikian atau pendapat-pendapatnya dalam rangka mengembangkan prosinya sebagai tanggung jawab social sebagai seorang auditor inter sangat minim sekali, dan bakan belum pernah penulis temukan baik dalam penulisan buku atau pun penulisan dalam jurnal-jurnal ilmiah.
Melihat kondisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kondisi auditor inter yang ada pada lembaga keuangan syariah tidak profesional, hal ini disebabkan oleh factor internal dan eksternal. Factor internal terutama disebabkan tidak sesuainya pendidikan formal yang dimiliki oleh auditor intern BMT, mereka banyak berpendidikan selain ekonomi akutansi. Mereka bisa melaksanakan tugas sebagai seorang auditor intern hanya mengandalkan pada pengalaman dari rutinitas tugas sebagai auditor intern, tanpa memiliki keahlian dasar yang harus dimiliki seoarang auditor inten. Selain itu pelatihan dan pendidikan profesi yang diikuti oleh auditor inter BMT sangat minim sekali. Sedangkan factor eksternal disebabkan kondisi kerja, fasilitas-fasilitas yang ada dan bakan ikatan profesi auditor inter ditempat kerja tidak ada.
Namun demikian, lembaga keuangan syariah (BMT) masih mempunyai prospek yang cerah, jika BMT tanggap dengan realitas empiris yang mereka hadapi. Untuk itu BMT perlu berbenah diri dalam rangka meningkatkan performancenya dari berbagai aspek. Untuk meningkatkan sumberdaya manusia, terutama auditor internya ada beberapa hal yang direkomendasikan penulis untuk meningkatkan profesional seorang auditor intern , yang mempunyai dampak langsung terhadap kinerja lembaga keuangan mikro syariah (BMT) ditempat mereka bekerja.
Pertama, pendidikan. Banyak penelitian , antara lain Colbert (1989), Ketchen & Strawser (1998), Libby & Frederik (1990), Kalbers & Fogarty (1995), Yohannes, et. al. (2002). yang menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi kinerja perusahaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan auditor intern semakin meningkat pula profesionalisme mereka atau dengan kata lain profesionalisme auditor intern dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya. Oleh karena itu penddikan merupakan basic pengetahuan dan keahlian bagi seorang auditor inter. Sebagai bahan kebijakan lembaga keuangan mikro syariah (BMT), manajemen lembaga harus selektif dan proposional dalam menempatkan auditor intern sesuai dengan tingkat pendidikannya, karena hal ini akan mempengaruhi perilaku, persepsi, pengambilan keputusan pribadi, pembelajaran, dan motivasi seoarang auditor intern yang akhirnya dapat meningkatkan performance lembaga.
Kedua, pelatihan. Menurun Mc Clarend suatu profesi dapat dibentuk melalui melalui pendikan dan pelatihan. Jadi semakin banyak pelatihan yang diikuti oleh seorang auditor semaikin bertambah pengetahuan dan keahliannya yang ada akhirnya meningkatkan profesionalismenya. Hal ini sejalan dengan argumen Ratliff (1996) yang menjelaskan pemberian jasa profesional harus merupakan hasil proses belajar, pelatihan, pengalaman dan pendidikan profesional berkelanjutan seseorang. Oleh karena itu, semakin banyak pelatihan yang diikuti oleh auditor intern maka semakin profesional mereka dalam bekerja atau dengan kata lain profesionalisme auditor intern dipengaruhi oleh banyaknya pelatihan yang telah diikutinya.[15]
Ketiga, personality. Sebagai seorang auditor intern yang mempunyai tugas independen dan mampu mendorong terciptanya pengelolaan risiko, pengendalian intern serta corporate governance yang baik dalam lingkungan perusahaan . [16] Oleh karena itu lembaga keuangan mikro syariah harus mempunyai auditor intern bersikap objective dan mempunyai integritas serta loyalitas yang tinggi. Semua itu tercapai jika seorang auditor intern mempunyai kepribadian (personalty) yang yang baik. Personality dapat dibentuk melalui keturunan, lingkungan, dan situasi sebagai faktor moderating. Kepribadian seorang auditor intern dapat dilihat dari cara komunikasinya dimana komunikasi yang efektif bagi auditor intern diperlukan hampir pada semua tahapan audit. Oleh karena itu, semakin bagus kepribadian auditor intern dapat meningkatkan profesionalisme mereka atau dengan kata lain profesionalisme auditor intern dipengaruhi kepribadiannya.
Keempat, pengalaman. Pengalaman auditor internal akan menjadi pertimbangan yang baik dalam pengambilan keputusan pada saat menjalankan tugasnya. Pengalaman auditor intern dapat menentukan profesionalisme, kinerja tugas, komitmen terhadap organisasi, serta kualitas auditor intern melalui pengetahunan yang diperolehnya dari pengalaman melakukan audit. Hal ini didikung oleh beberapa penelitian antara lain : Hasil penelitian ini juga mendukung pendapat Colbert (1989), Ketchen & Strawser (1998), Libby & Frederik (1990), Robbins (2005), dan hasil penelitian terdahulu yaitu penelitian Wood, et. al. (1989), yang menjelaskan bahwa semakin banyak pengalaman kerja auditor intern dapat meningkatkan profesionalisme mereka dalam pekerjaannya atau dengan kata lain profesionalisme auditor intern dipengaruhi oleh pengalaman kerjanya.[17]
Kelima, berpegang teguh pada kode etik profesi. Etika akan memberikan semacam batasan maupun standard yang akan mengatur pergaulan manusia didalam kelompok sosialnya, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada. Kode etik profesi ini akan dipakai sebagai rujukan normatif dari pelaksanaan pemberian jasa profesi kepada mereka yang memerlukannya. Menurut Harris ruang gerak seorang profesional ini akan diatur melalui etika profesi yang distandarkan dalam bentuk kode etik profesi.[18] Seorang auditor intern, juga mempunyai kode etik tersendiri. Pekeerjaan dan tugas dari auditor dibutuhkan kejujuran, idependensi dan transparasi, sehingga kegiatan yang mulia ini harus dibentengi dengan suatu kode etika profesi. Untuk itu dalam menjalankan tugas dan fungsinya, dibutuhkan seorang auditor inter mempunyai komitmen dan sanggup berpegang pada kode etik profesinya. Apalagi bekerja pada lembaga yang operasionalnya berdasarkan syari’ah, dimana agama merupakan faktor utama dalam membentuk kode etik auditor intern pada lembaga keuangan mikro syariah.

D. KESIMPULAN
Berdasarkan kondisi-kondisi yang telah diuraikan, dapat diperoleh gambaran latar belakang, situasional, kondisional auditor intern yang ada pada lembaga keuangan mikro syariah (BMT) sebagian besar memiliki tingkat profosefionalisme yang masih rendah, jika dilihat dari indikator-indikator Sawyer, antara lain : afiliasi komunitas, sertifikasi , pendidikan dan pelatihan profesi, dedikasi pada profesi; dan kewajiban sosial profesi. Gambaran ini menunjukkan betapa rendahnya mutu dan kualitas dari auditor intern lembaga keuangan mikro syariah, sehingga wajar kalau dilihat dari kinerja dan tingkat kesehatan dari BMT-BMT sebagian besar hanya masuk dalam katagori cukup sehat. Bahkan di kota semarang tidak ada satupun BMT masuk dalam katagori sehat.
Melihat potret adutor inter yang cukup memprihatinkan, merupakan tantangan bagi manajemen lembaga keungan mikro syariah untuk meningkatkan profesionalisme auditor internnya supaya meningkatkan performance lembaga . ada beberapa faktor yang dapat dijadikan kebijakan untuk meningkatkan profesionalisme auditor intern lembaga keuangan mikro syariah (BMT) antara lain : melalui pendidikan yang sesuai dengan profesi seoarang auditor, pelatihan dasar atau pelatihan tingkat lanjutan untuk auditor intern, pengalaman yang cukup menjadi seoarang auditor, personality (kepribadian) yang baik serta dalam menjalankan tugas seoarang auditor selalu berpegang teguh dengan kode etik profesi yang diilhami dengan pemahaman syariah yang kuat.

E. DAFTAR PUSTAKA
American Accounting Association. 1973. A Statement of Basic Accounting Research. Florida. No. 6.
American Institute of Certified Public Accountants (AICPA). 1995. AICPA Profesional Standards. New York, NY:AICPA.
Arifin, Zainal, 2000. Memahami Bank Syari’ah, Alvabet, Jakarta.
Arrunada, B. 2000. Audit Quality: Attribut, Private Safeguards and The Role of Regulation. The European Accounting Review. Vol. 9. No. 2: 205-224.
Barlow, Helberg Cs. 1995. The Business Approach to Internal Auditing. First Edition. Johannesburg, Juta & Co. Ltd.
Benardi, R. 1994. Fraud Detection: The Effect of Client Integrity and Competence and Auditor Cognitivie Style. Auditing: A Journal of Theory & Practice. Vol. 13 (Suplement): 68-84.
Bonner, S. & B. Lewis. 1990. Dimensions of Auditors Expertise. Journal of Accounting Research. Vol. 28 Supplement: 1-20.
Boynton, W.C., & W.G. Kell. 2001. Modern Auditing. 6th ed. New York: John Wiley and Sons, Inc.
Brayfield, A., & H. Rothe. 1951. An index of Job Satisfaction. Journal of Applied Psychology. Vol. 35: 307-311.
Chambers, Andrew and Graham Rand. 1997. The Operational Auditing Handbook Auditing Business Processes. John Wiley & Sons Ltd.
Clapham, Ronald. 1991. Pengusaha Kecil dan Menengah di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
Colbert, J.L. 1989. The Effect of Experience Auditor’s Judgements. Journal of Accounting Literature. p: 137-149.
Davis, K dan Newstroom John. 1985. Human Behavior at Work: Organizational Behaviour. Seven Edition. Mc. Grow-Hill, Inc.
Dewan Sertifikasi - QIA. 2005. Rekapitulasi Jumlah Perusahaan / Instansi BUMN, BUMD, BUMS, & Lembaga Lainnya Yang Telah Memperoleh Sertifikat QIA Posisi Sampai Dengan 8 September 2005. Jakarta. 19 September.
Hall, R. 1968. Profesionalization and Bureacratization. American Sociological Review. Vol. 33: 211-228.
Harrell, A., E Chewning & M. Taylor. 1986. Organization – Profession Conflict and The Job Satisfaction and Turnover Intentions of Internal Auditing. A Journal of Practice & Theory. Spring: 109-121.
Hiro Tugiman. 2004. Tantangan & Prospek Profesi Internal Auditor di Indonesia. Jakarta. 14 Februari
Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Publik. 2001. Standar Profesional Akuntan Publik. Cetakan ke-1, per 1 Januari. Jakarta: PT. Salemba.
Kalbers, L.P. & T.J. Fogarty. 1995. Professional and Its Consequences: A Study Internal Auditor. A Journal Practice and Theory. Spring: 64-85.
Ketchen & Strawser. 1998. Dalam Yohannes Sri Guntur, Bambang Soepomo, & Gitoyo. 2002. Analisis Pengaruh Pengalaman Terhadap Profesionalisme dan Analisis Pengaruh Profesionalisme Terhadap Hasil Kerja (Outcomes). Jurnal MAKSI. Semarang: UNDIP
Konrath, Laweey F. 2002. Auditing Concepts and Applications, A Risk-Analysis Approach. 5th Edition. West Publising Company.
Kramer, W. Michael. 2002. Coruption and Fraud in International Aid and Business Projects. IIA International Conference. Washington DC. Juni.
Kreitner, Robert & Angelo Kinicki. 2001. Organizational Behaviour. Fifth Edition. The Mc Graw-Hill Companies, Inc.
Krogstad K. Jack, Ridley J. Anthony. 1999. Where We’re Going. Journal The Institute of Internal Auditors. October. Vol. LVI:V, pp 27-33.
Libby, R. & D. Frederik. 1990. Experience and The Ability to Explain Audit Findings. Journal of Accounting Research. Vol. 28, No. 2: 348-367.
Locke, E.A. 1976. The Nature and Causes of Job Satisfaction. Dalam M.D. Dunnete. Handbook of Industrial and Organizational Psychologi. Halaman 1319-28. Chicago: Rand McNally.
Mautz, R. K. & Hussein A. Sharaf. 1993. The Philosophy of Auditing. American Accounting Association.
Moeller, Robert R. 2005. Brink’s Modern Internal Auditing, Sixth Edition. John Wiley & Sons. Inc. Hoboken, New Jersey in Canada.
Morrow & Goetz (1988), Goetz, et. al. (1991) dalam Kalbers, L.P. & T.J. Fogarty. 1995. Professional and Its Consequences: A Study Internal Auditor. A Journal Practice and Theory. Spring: 64-85.
Pei, B., & F. Davis. The Impact of Organizational Structure on Internal Auditor Organizational – Professional Conflict and Role Stress: An Exploration of Linkages. Auditing: A Journal of Prctice & Theory. Spring:101-115.
Rahman Eljunusi, Pengaruh Religiositas dan Etika Kerja Islam terhadap Kinerja Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah (Studi pada Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) Kota Semarang, Jurnal Pusat Penelitian IAIN Walisongo, Semarang, 2005, hal 50-60
Robbins, Stephen P. 2005. Organizational Behavior. 11th Edition. New Jersey: Prentice Hall Inc.
Sawyer, Lawrence B., Mortimer A. Dittenhofer, and James H. Scheiner. 2003. Sawyer’s Internal Auditing, The Practice of Modern Internal Auditing. 5th Edition. Florida: The Institute of Internal Auditors. Altamonte Springs.
The Institute of Chartered Accountants in Australia. 1994. Dalam Hiro Tugiman. Tantangan dan Prospek Profesi Internal Auditor di Indonesia. Halaman 14. Jakarta: YPIA dan DS-QIA.
The Institute of Internal Auditors. 1997. Statement on Internal Auditing Standards No. 16. Journal The Institute of Internal Auditors. Agustus.
Wood, et. al. 1989. Professionalisme in Internal Auditing. Dalam Kalbers, L.P. & T.J. Fogarty. Professional and Its Consequences: A Study Internal Auditor. A Journal Practice and Theory. Spring: 64-85.
[1] Disampaikan pada acara diskusi dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo pada Hari : Jum’at , tanggal 3 Agustus 2007.
[2] Arifin, Zainal, Memahami Bank Syari’ah, Lingkup, peluang dan Tantangan dan Prospek, Alvabet, Jakarta 1999 , hal 47
[3] Rahman ElJunusi, Pengaruh Religiositas dan Etika Kerja Islam terhadap Kinerja Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah (Studi pada Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) Kota Semaran, Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang,2005, hal 45 - 60
[4], Moeller, Robert & Herbert Witt. 1999. Brink’s Modern Internal Auditing, Fifth Edition. John Wiley & Sons. Inc hal 5-8
[5] Hiro Tugiran , Tantangan & Prospek Profesi Internal Auditor di Indonesia. Jakarta. 14 Februari, hal 41
[6] Ibid, hal 42
[7] Moeller and Robert R. Op.Cit hal 5-10
[8] Boynton, W.C., & W.G. Kell. . Modern Auditing. 6th ed. New York: John Wiley and Sons, Inc, 2001, hal 980-990
[9] Sawyer, Lawrence B., Mortimer A. Dittenhofer, and James H. Scheiner, Sawyer’s Internal Auditing, The Practice of Modern Internal Auditing. 5th Edition. Florida: The Institute of Internal Auditors. Altamonte Springs, 2003, hal 30-50
[10] Bonner and Lewis, Dimensions of Auditors Expertise. Journal of Accounting Research. Vol. 28 Supplement:1990, hal 1-20.
[11] Kalbers dan Fogarty . Professional and Its Consequences: A Study Internal Auditor. A Journal Practice and Theory. Spring: 1995, hal 60-80
[12] Moeller, Robert R. Brink’s Modern Internal Auditing, Sixth Edition. John Wiley & Sons. Inc. Hoboken, New Jersey in Canada . 2005. hal 50-60
[13] Sawyer. Op.Cit hal 30-50
[14] Hasil wawancara dengan pengurus BMT Kota Semarang, Tahun2006
[15] Lihat Ratliff L. Richard, Wallace A. Wanda, Loebbecke K. James & Mc Farland G. William. Internal Auditing Principles and Techniques. Florida: The Institute of Internal Auditors, 1996., hal 30-50
[16] Lihat Robbins, Stephen P Organizational Behavior. 11th Edition. New Jersey: Prentice Hall Inc, 2005, hal 70-90
[17] Kalbert and Ogarty, Op.Cit hal 60-80
[18] Haris Setianto. Best Practices Dalam Penyusunan Laporan Internal Audit (Sesuai Standar Profesional Internal Audit. Media Auditor. Edisi III/April: , 2001 hal 12.

PROBLEM IMPLEMENTASI UU NO 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NO. 7 TAHUN 1989 TENTANG PENGEDILN AGAMA (STUDI PASAL 49)

A. ABSTRAK
Adanya amandemen UU No 7 Tahun 1989 menjadi UU No 3 Tahun 2006 tentang perluasan kewenangan pengadilan agama untuk menangani sengketa ekonomi syari’ah, merupakan fenomena baru yang harus dihadapi oleh seluruh jajaran aparat (pegawai dan hakim) pengadilan agama. Di satu sisi, hakim pengadilan agama dituntut untuk memahami segala perkara yang menjadi kompetensinya. Di sisi lain, hakim pengadilan agama selama ini tidak menangani sengketa yang terkait dengan ekonomi syari’ah, sehingga wawasan mereka tentang ekonomi syari’ah sangat terbatas. Penelitian ini yang menjadi bertujuan adalah (1) untuk mengetahui implementasi UU No 3 Tahun 2006 di lingkungan Peradilan Agama Jawa Tengah, (2) untuk mengetahui penyelesean penyelesaian sengketa ekonomi syariah bagi pelaku ekonomi syari’ah, (3) untuk mengetahui respon (pengetahuan, sikap dan prilaku) hakim pengadilan agama terhadap UU No. 3 Tahun 2006, (4) untuk mengetahui kecenderungan yang dilakukan oleh para hakim dalam melaksanakan amandemen UU No. 3 Tahun 2006, (5) untuk mengetahui persepsi (pengetahuan, sikap dan prilaku) pelaku ekonomi syari’ah terhadap UU No. 3 Tahun 2006
Metodologi yang digunakan (1) pendekatan yang digunakan adalah normatif: yuridis sosiologis dan empiris : kuantitatis ekaploratif. (2) sampel penelitian adalah : hakim pengdilan agama dan pelaku ekonomi syari’ah. Dengan teknik pegumpulan data interview dan dokomentasi. (3) teknik alisis yang digunakan adalah stratistik ditriptif eksploratif dan kontain analisis.
Hasil penelitian menunjukkan Pertama, Implementasi UU No 3 tahun 2006 pasal 49 khususnya berkaitan dengan sengketa ekonomi syri’ah sebenarnya tidaklah terdapat problem yang berarti secara teknis hakim, mengingat hakim tidak harus tahu hukum, tetapi hakim hanya dituntut untuk mengetahui permasalahan hukumnya saja, jika sudah diketahui haukumnya hakim tinggal mencari dan atau menanyakan kepada ahli hukum. Sedangkan problematika yang muncul hanya berkaitan dengan belum adanya peraturan perundang-undangan tentang ekonomi syari’ah yang bersifat khusus, menjadikikan hakim di Pengadilan Agama, harus berjuang keras menggali dan menemukan hukum dalam berbagai sumber hukum yang berserakan, baik ada dalam peraturan perbankan, hukum perjanjian, yurisprudensi maupun doktrin. Selain itu kurangnya sosialisasi UU No 3 tahun 2006, minimnya kegiatan yang dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah, serta kurangnya kesadaran hukum masyarakat. Kedua, Penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah bagi pelaku ekonomi syari’ah sebelum ada UU No. Tahun 2006 menunjukkan sebagian besar diselesaikan dengan musyawarah, Ketiga, Respon Hakim (pengetahuan, sikap, perilaku dan kesiapan) terhadap UU No. 3 Tahun 2006 Pasal 49 Tentang Kekuasaan Absolut Ekonomi Syari’ah di Pengadilan Agama: sebagain besar hakim mengetahui 11 bidang ekonomi syariah, perilaku hakim menerima sengketa 11 bidang ekonomi syariah sedangkan sebagian besar hakim menyatakan siap menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Keempat, kecenderungan yang dilakukan oleh para hakim Pengadilan Agama dalam melaksanakan amandemen UU No. 3 Tahun 2006 dengan pelatihan dan pendidikan. Kecenderungan hakim memutus perkara berdasarkan pertimbangan para hakim 71,78%, berdasarkan pakar ekonomi syariah 16,67 persen serta lain-lain 7,67%. Sedangkan Kelima, Persepsi (pengetahuan, sikap dan prilaku) pelaku ekonomi syari’ah terhadap UU No.3 Tahun 2006 menunjukkan 60% responden mengetahui UU no. 3 tahun 2006, sedangkan 40% tidak tahu. 70% responden menyatakan setuju dengan UU No. 3 Tahun 2006 sedangkan 30% responden melihat kasus. 8,2% responden menyatakan mau menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama sedangkan 73% menyatakan lihat kasus.

Kata Kunci : UU No. 3 Tahun 2006, Hakim, Pengadilan Agama, Ekonomi Syari’ah


B. PENDAHULUAN

Pasca amandemen UU No. 7 Tahun 1989 khususnya pasal 49 kewenangan Peradilan Agama menjadi bertambah. Perluasan kewenangan Peradilan Agama untuk menangani sengketa ekonomi syari’ah, merupakan fenomena baru yang harus dihadapi oleh seluruh jajaran aparat (pegawai dan hakim) Peradilan Agama. Di satu sisi, peradialan agama harus memiliki hakim-hakim khusus yang kapabel dalam menangani sengketa ekonomi syari’ah. Para hakim juga dituntut untuk memahami segala perkara yang menjadi kompetensinya. Karena hakim dianggap tahu akan hukumnya, sehingga hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dengan dalih hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Di sisi lain, seluruh hakim peradilan agama memiliki latar belakang pendidikan hukum Islam, yang selama ini tidak menangani sengketa yang terkait dengan ekonomi syari’ah, sehingga wawasan mereka tentang ekonomi syari’ah sangat terbatas. Sejalan dengan itu, setiap hakim Pengadilan Agama dituntut untuk lebih mendalami dan menguasai soal ekonomi syari’ah.
Selama ini para hakim hanya menangani masalah sengketa perkawinan, waris, wasiat; hibah, waqaf dan sedekah. Dengan bertambahnya kewenangan untuk menangani sengketa ekonomi syari’ah merupakan tantangan yang tidak ringan bagi hakim untuk menambah wawasan dan pengetahuannya. Untuk menghadapi tantangan tersebut, maka hakim Pengadilan Agama dituntut untuk : Pertama, para hakim Pengadilan Agama harus terus meningkatkan wawasan hukum tentang perekonomian syari’ah dalam bingkai regulasi Indonesia dan aktualisai fiqh Islam. Kedua, para hakim Pengadilan Agama harus mempunyai wawasan memadai tentang produk layanan dan mekanisme operasional dari perbankan syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, reksa dana syari’ah, obligasi dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah. Mereka juga harus memahami pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syaraiah, dan bisnis syari’ah. Ketiga, para hakim agama perlu meningkatkan wawasan hukum tentang prediksi terjadinya sengketa dalam akad yang berbasis ekonomi syari’ah. Keempat, para hakim harus meningkatkan wawasan dasar-dasar hukum dan peraturan perundang-undangan serta konsepsi dalam fiqh Islam tentang ekonomi syari’ah.
Fenomena ini juga muncul bagi pelaku ekonomi syari’ah, yang selama ini menggunakan peradilan umum , badan arbitase atau bermusyawarah dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ahnya. Demikian juga bagi hakim di pengadilan agama yang selama hanya menangani kasus-kasus masalah-masalah perceraian, waris, hibah, waqaf dan sedekah, dituntut untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang penyelesaian sengeketa dalam ekonomi syari’ah.
Hakim dalam menjatuhkan putusannya dituntut untuk mendasarkan pada ketentuan hukum. Ketentuan hukum tentang ekonomi syari’ah belum diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai hukum materiilnya. Oleh karena itu dalam perkara sengketa ekonomi syari’ah masih dimungkinkan terjadinya kekosongan hukum. Pada hal semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pas. 23 UU No. 14 tahun 1970, 184 ayat (1), 319 HIR, 195 dan 618 Rbg). Alasan-alasan itu dimaksudkan sebagai pertanggungan jawab hakim atas putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi, dan ilmu pengetahuan, sehingga putusan tersebut mempunyai nilai objektif dan wibawa Berdasarkan latar belakang masalah, maka permasalahannya adalah problimatika dan implementasi pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berkaitan dengan penyelesaian sengketa Ekonomi Syari’ah di lingkungan Peradilan Agama Jawa Tengah
Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah :
1. Untuk mengetahui implementasi dan problematika pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berkaitan dengan penyelesaian sengketa Ekonomi Syari’ah di lingkungan Peradilan Agama Jawa Tengah
2. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah bagi pelaku ekonomi syari’ah sebelum ada UU No. 3 Tahun 2006 pasal 49 tentang kekuasan absolut penyelesaian sengketa Ekonomi Syari’ah
3. Untuk mengertahui respon hakim (pengetahuan, sikap, perilaku dan kesiapan) terhadap UU No. 3 Tahun 2006 Pasal 49 Tentang Kekuasaan Absolut Ekonomi Syari’ah di Pengadilan Agama
4. Untuk mengertahui kecenderungan yang dilakukan oleh para hakim dalam melaksanakan amandemen UU No. 3 Tahun 2006 pasal 49 tentang kekuasan absolut Pengadilan Agama tentang penyelesaian sengketa di bidang kegiatan Ekonomi Syari’ah
5. Untuk mengertahui persepsi (pengetahuan, sikap dan perilaku) pelaku ekonomi syari’ah terhadap UU No. 3 Tahun 2006 pasal 49 tentang kekuasan absolut Pengadilan Agama tentang penyelesaian sengketa Ekonomi Syari’ah

C. KAJIAN PUSTAKA
UU Nomor 3 Tahun 2006 memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk mengadili sengketa ekonomi syari’ah yang sebelumnya menjadi kompetensi Peradilan Umum. Dalam pasal 49 point i disebutkan bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syari’ah.
Dengan disahkanya Undang-Undang No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, maka wewenang mengadili sengketa ekonomi syariah menjadi wewenang absolut lembaga Peradilan Agama. Sebelumnya, wewenang ini menjadi wewenang Peradilan Umum, jika tidak diselesaikan di lembaga arbitrase.
Pada pasal 49 point i UU No 3/2006 disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.
Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi :
1. Bank syariah,
2. Lembaga keuangan mikro syari’ah,
3. Asuransi syari’ah,
4. Reasurasi syari’ah,
5. Reksadana syari’ah,
6. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,
7. Sekuritas syariah,
8. Pembiayaan syari’ah,
9. Pegadaian syari’ah,
10. Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan
11. Bisnis syari’ah
Apabila dilihat dari perspektif sistem hukum di atas, ada beberapa point yang harus segera diadakan dan dibenahi terkait penetapan perluasan kewenangan Pengadilan Agama untuk mengadili sengketa ekonomi syari’ah. Pertama, hukum materiil yang menjadi rujukan para hakim dalam memutus perkara ekonomi syari’ah belum tersedia. Hukum yang selama ini ada di lingkungan Pengadilan Agama hanya mengatur persoalan perkawinan, kewarisan, wakaf, wasiat dan hibah. Urgensi pembentukan hukum materiil berupa Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dikarenakan peraturan fiqh mengenai aspek mu’amalah ini sangat bervariasi, sehingga tidak mencerminkan asas unifikasi hukum, yang mengakibatkan sulitnya pencapaian kepastian hukum.
Kedua, hakim sebagai aparat penegak hukum di Pengadilan Agama perlu membekali dengan kemampuan penanganan sengketa ekonomi syari’ah yang beragam. Kapabilitas hakim mutlak diperlukan, karena hakim bukan sekedar corong UU, melainkan ia harus memahami, menafsirkan, dan menggali nilai-nilai keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan pemikiran hukum dalam madhhab common law yang berkembang di negara Anglo Saxon,[1] yang mengatakan bahwa hukum yang sebenarnya adalah keputusan hakim itu sendiri, bukan aturan legal formal yang ada di dalam teks Undang Undang.
Ketiga, untuk menunjang efektifitas penegakan hukum dalam konteks sengketa ekonomi syari’ah, kesadaran hukum masyarakat menjadi elemen yang penting. Masyarakat bukan saja sebagai salah satu sumber nilai keadilan, melainkan juga bertindak sebagai pengguna (stakeholder) atas peraturan itu. Sebagai pencari keadilan (justitiabelen), masyarakat dan para pelaku bisnis syari’ah mengharapkan sengketa ekonomi syari’ah yang dialaminya dapat diselesaikan secara tepat dan merepresentasikan keadilan.
Berdasar paparan di atas, kata kunci keberhasilan dalam merespon perluasan kewenangan Pengadilan Agama ini, adalah perlunya segera dibentuk Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES). Formulasinya harus menggunakan metodologi hukum Islam (ushul al-fiqh) dan falsafah hukum Islam (al-maqashid al-syari’ah), sehingga mampu menampung aspirasi hukum serta keadilan masyarakat. Karena itu diharapkan KHES dapat berperan sebagai alat perekayasa (social engineering) masyarakat muslim Indonesia, khususnya dalam bidang ekonomi syari’ah.
Kebutuhan pembentukan KHES di Indonesia dipandang sangat mendesak, karena praktek ekonomi syari’ah telah dipraktekkan di masyarakat. jangan sampai terjadi kekosongan hukum dalam bidang ekonomi syari’ah, atau masih menggunakan peraturan lain (BW) yang tidak sesuai dengan jiwa syari’ah dan nilai aktualitas.
Keberhasilan pelaksanaan kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili bidang ekonomi syari’ah terpengaruh juga oleh persepsi hakim terhadap UU No 3 tahun 2006.[2] Persepsi ini akan membentuk image yang positif yang akhirnya akan termanifestasikan dalam kinerja yang berkualitas. Sebab menurut Dr. Abdul Manan, seorang hakim agung MARI,[3] upaya untuk mewujudkan budaya hukum, diperlukan dua komponen utama yaitu substansi aturan hukum dan aparat penegak hukum profesional yang imparsial. Menurut Friedmann,[4] budaya hukum atau the legal culture merupakan keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya masyarakat. Budaya hukum merupakan bahan bakar penggerak keadilan (the legal culture provides fuel for the motor of justice).
Kalau peraturan nya sudah diketemukan, maka peraturan hukum itu kemudian diterapkan pada peristiwa hukum kongkritnya. Kalau ada pelbagai kemungkinan kualifikasi atau terjemahan yuridis dari peristiwa kongkritnya maka pada penerapan peraturan nya terdapat pula pelbagai kemungkinan konstruksi yang harus dipertimbangkan mana yang akan dipilih, sehingga idea das recht (keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dapat . Melalui pola berfikir yang dikembangkan oleh peneliti, memungkinkan bagi hakim dalam menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah, yang walaupun secara yuridis masih banyak yang belum diatur ketentuannya dalam peraturan perundang-undangan, namun perkara ekonomi syari’ah akan tetap terselesaian.Oleh karena itu persepsi hakim terhadap UU Nomor 3 Tahun 2006 mempunyai makna yang penting, terutama apabila dilihat dari perspektif sistem hukum di atas. Dibandingkan dengan kedua unsur yang lain, hakim sebagai aparat penegak hukum mempunyai peran yang signifikan. Karena di tangan hakimlah, lahirnya hukum yang sebenarnya. Kalau teks undang-undang masih berupa hukum in abstracto yaitu hukum yang masih belum jelas, maka setelah diputuskan oleh hakim menjadi hukum yang nyata (in concreto). Menurut A. Wasit Aulawi,[5] proses ini disebut operasionalisasi atau aktualisasi hukum dalam kehidupan masyarakat yang realistis.

D. Metode Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah UU N0 3 Tahun 2006 yang merupakan hasil amandemen UU No. 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama khusunya pasal 49 yang menyangkut sengketa ekonomi syari’ah, sedangkan subjek penelitian adalah hakim pada Pengadilan Agama dan masyarakat pencari keadilan dalam hal ini adalah pelaku ekonomi syari’ah sebagai unit analisis.
Sampel penelitian diambil dari populasi dalam penelitian, yang terbagi dalam dua kelompok sampel :
1. Responden hakim pada 36 Pengadilan Agama di Jawa Tengah dengah jumlah 380 hakim[6], di mana seluruh hakim pengadilan agama Jawa Tengah diminta jawaban tentang persepsi dan kecenderungan hakim dalam melaksanakan UU No. 3 Tahun 2006 pasal 49 tentang kekuasan absolut Pengadilan Agama tentang penyelesaian sengketa Ekonomi Syari’ah. Agar kuesioner yang dikirim mendapatkan respon baik, upaya yang dilakukan peneliti adalah dengan melampiri surat permohonan penelitian antara lain dari:
a. Surat pengantar penelitian dari Pembantu Rektor II IAIN Walisongo dengan nomor surat: In.06.1/R.II/TL.03/0914/2007 dan surat pengantar dari Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kota Semarang nomor surat: 070/651/VI/2007. Ke dua surat pengantar tersebut bertujuan agar dapat memberi keyakinan kepada hakim atau pimpinan perusahaan ekonomi syari’ah bahwa penelitian ini benar-benar untuk kepentingan akademis.
b. Executive summary proposal penelitian, dimaksudkan agar hakim sebagai responden mendapatkan gambaran umum, tujuan maupun manfaat penelitian.
c. Untuk reponden atau hakim Pengadilan Agama Kota Semarang, Pengadilan Agama Demak, Pengadilan Agama Kendal dan Pengadilan Agama Purwodadi, Pengadilan Agama Ambarawa, pengumpulan data dilakukan dengan mendatangi responden dan kontak person secara langsung. Sedangkan untuk Pengadilan Agama lainnya dilakukan dengan menggunakan kontak person, kurir dan pos (mail sensus). Amplop kiriman balasan untuk lebih memudahkan hakim dalam pengembalian kuesioner.
d. Dalam jangka waktu sekitar dua bulan , dari 380 kuesioner yang dikirimkan ke Hakim – hakim Pengadilan Agama Jawa Tengah sebagai target, sebanyak 156 Hakim yang memberi jawaban, baik melalui kontak perseon, kurir maupun surat menyurat, sedangkan sisanya sebesar 224 hakim dianggap gugur karena tidak memberikan jawaban dengan tidak diketahui alasannya.
2. Pelaku ekonomi syari’ah di Jawa Tengah sebanyak 30 orang. Menurut UU No. 3 Tahun 2006 pasal 49 tentnag kekuasan absolut Pengadilan Agama tentang penyelesaian sengketa Ekonomi Syari’ah terdapat 11 bidang usaha ekonomi syari’ah, namun dalam penelitian ini tidak semua bidang yang dimintai tanggapannya mengenai UU No 3 Tahun 2006 hanya bidang ekonomi syari’ah yang berada di Kota Semarang
Adapun kuesioner yang digunan untuk penugumpulan data menggunakan semi terstruktur, maksudnya ada kuesioner yang sifatnya terbuka di mana responden bebas menjawab pertanyaan dan kuesioner tertutup di mana jawaban atas kuesioner sudah disediakan dalam penelitian ini. Kuesioner penelitian di sebarkan secara langsung mendatangi responden, melalui kontak person dan membentuk teamwork..
Pada dasarnya analisis data yang digunakan adalah explorasi, namun karena ada dua pendekatan yaitu pendekatan normatif dan empiris dalam penelitian ini maka data yang terkumpul melalui kuesioner dianalisis dengan menggunakan fasilitas SPSS (Statistic package for social sciences) dengan Sedangkan data yang berasal dari Undang-Unadang dilakukan dengan metode analisis deskriptif normatif.


E. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
1. Untuk mengetahui implementasi dan problematika pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, berkaitan dengan penyelesaian sengketa Ekonomi Syari’ah di lingkungan Peradilan Agama Jawa Tengah. Implementasi UU No 3 tahun 2006 pasal 49 khususnya berkaitan dengan sengketa ekonomi syri’ah sebenarnya tidaklah terdapat problem yang berarti secara teknis hakim, mengingat hakim tidak harus tahu hukum, tetapi hakim hanya dituntut untuk mengetahui permasalahan hukumnya saja, jika sudah diketahui haukumnya hakim tinggal mencari dan atau menanyakan kepada ahli hukum. Sebagaimana putusan No. register PA Purbalingga dan telah diputus dengan Putusan Nomor: 1047/Pdt.G/2006/PA. Pbg.
Problematika yang muncul hanya berkaitan dengan belum adanya peraturan perundang-undangan tentang ekonomi syari’ah yang bersifat khusus, menjadikikan hakim di Pengadilan Agama, harus berjuang keras menggali dan menemukan hukum dalam berbagai sumber hukum yang berserakan, baik ada dalam peraturan perbankan, hukum perjanjian, yurisprudensi maupun doktrin. Selain itu kurangnya sosialisasi UU No 3 tahun 2006, minimnya kegiatan yang dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah, serta kurangnya kesadaran hukum masyarakat.

2. Penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah bagi pelaku ekonomi syari’ah sebelum ada UU No. Tahun 2006 menunjukkan bahwa 76% responden (pelaku ekonomi syari’ah) menyatakan sebelum adanya UU No.3 Tahun 2006 sengketa ekonomi syariah diselesaikan dengan musyawarah, 17% diselesaikan di pengadilan negeri, 7% melalui mediasi dan tidak ada satupun yang menyelesaikan dibadan abritase nasional.

3. Respon Hakim (pengetahuan, sikap, perilaku dan kesiapan) terhadap UU No. 3 Tahun 2006 Pasal 49 Tentang Kekuasaan Absolut Ekonomi Syari’ah di Pengadilan Agama
i. pengetahuan hakim terhadai 11 bidang ekonomi syariah menunjukkan rata-rata 71,15%, sedangkan untuk bidang reksadana, olbigasi, sekuritas syariah pengetahuan hakim hanya mencapai 56,42% .
ii. sikap hakim terhadap implementasi UU no. 3 tahun 2006 menyatakan setuju 85,89% menyatakan setuju dan 14,11% lihat kasus. Lasana terbesar karena sudah diUndang-Undankannya dan menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama penyelesaian sengketa ekonomi syariah
iii. prilaku hakim dalam implementasi UU No. 3 tahun 2006 menunjukkan bahwa 86,53% hakim akan menerima sengketa 11 bidang ekonomi syariah sedangkan 13,47% lihat kasus.
iv. kesiapan hakim menunjukkan rata-rata 79,48% hakim menyatakan siap karena hakim tidak oleh menolak perkara dengan dasar tidak ada hukumnya.

4. Kecenderungan yang dilakukan oleh hakim dalam melaksanakan UU No. 3 Tahun 2006 pasal 49 tentang kekuasan absolut sengketa Ekonomi Syari’ah di Pengadilan Agama :
i. kecenderungan yang dilakukan oleh para hakim Pengadilan Agama dalam melaksanakan amandemen UU No. 3 Tahun 2006 adalah pelatihan dan pendidikan 47,43%, sedangkan yang ingin melanjutkan studi hanya 6,41%. Orang.
ii. dalam memutus sengketa ekonomi syariah, kecenderungan hakim memutus perkara berdasarkan pertimbangan para hakim 71,78%, berdasarkan pakar ekonomi syariah 16,67 persen serta lain-lain 7,67%.

5. Persepsi (pengetahuan, sikap dan prilaku) pelaku ekonomi syari’ah terhadap UU No. Tahun 2006
i. 60% responden mengetahui UU no. 3 tahun 2006, sedangkan 40% tidak tahu.
ii. 70% responden menyatakan setuju dengan UU No. 3 Tahun 2006 sedangkan 30% responden liaht kasus.
iii. 8,2% responden menyatakan mau menyelesaikan sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama sedangkan 73% menyatakan lihat kasus.


F. DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta: Kencana, 2005, hal. 94.
Bustanul Arifin mengakui bahwa keberhasilan pelaksanaan tugas PA, antara lain dipengaruhi sejauhmana persepsi masyarakat terhadap keberadaan hukum yang ditangani PA. Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya, Jakarta, Gema Insani Press, 1996, hal. 87.
Abdullah, Abdul Gani-, 1987, Badan Hukum Syara’ Kesultanan Bima 1947–1957: Sebuah studi Mengenai Peradilan Agama. Disertasi, Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Algra, Mr. N.E., dan Mr. H.C.J.G. Jassen, Rechtsaanvang, Wolters-Noordhoff, Groningen, 1981.
Ahmad, Amrullah-, 1996, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Mengenal 65 Th. Prof. Dr. Bustanul Arifin, S.H., Gema insani Press, Jakarta.
Ali, Chidir-, 1979, Yurisprudensi Hukum Perdata Islam di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung.
Arikunto, Suharsimi-, 1998, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta.
Arto, Mukti-, 2000, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Al Jaziri, Abdul Rahman-, Kitab al Fiqh ‘ala al Mazhahib al Arba’ah, Juz IV, Dar al Kitab al Ilmiyah, Beirut, Libanan.
Basyir, Ahmad Azhar-, 1999, Hukum Islam di Indonesia Dari Masa Ke Masa, Muttaqien, Dadan, dkk., Peradilan Agama & Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Hal. 7-11, UII Perss, Yogyakarta.
Bisri, Cik Hasan-, 2000, Peradilan Agama di Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta.
---------------------, 1997, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Departemen Agama R.I.-, 1971, Laporan Bagian Projek Penelitian Jurisprudensi Peradilan Agama, Projek Peningkatan Penelitian/Survey Keagamaan Departemen Agama R.I.
Halim, Abdul-, 2000, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia dari Otoriter Konservatif Menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Harahap, Yahya, M.-, 2001, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Edisi ke dua, Sinar Grafika, Jakarta.
Lawrence M. Friedmann, “Legal Culture and Social Development” dalam Law and Society, Volume. 4, 1969. hal. 9.
Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Jakarta: Remaja Rosdakarya, 1993, hal. 30-32.
Lokakarya Teknis Yustisial dan Pembinaan Administrasi Peradilan Agama-, 1989, Buku Pedoman Kerja Bagi Hakim dan Panitera di Lingkungan Peradilan Agama, Pengurus Wilayah Ikatan Hakim Agama (IKAHA), Ujung Pandang.
Mahkamah Agung R.I.-, 1994, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, t.p.
Mahkamah Agung R.I.-, 1998, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II, Edisi Revisi, Cetakan ke-3, t.p.
Mertokusumo, Sudikno-, 1983, Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangannya di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Bangsa Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
----------------------------, 1984, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Penyunting Kunthoro Basuki dan Retno Supartinah, Liberty, Yogyakarta.
---------------------------, 1996, Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
Mertokusumo, Sudikno-, 1997, Asas-asas Hukum Acara Perdata Dalam Ilmu Hukum, Mimbar Hukum, No. 35, hal. 31-37.
---------------------------, 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
---------------------------, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
Lev, Daniel S-, Islamic Courts in Indonesia: A Study in The Political Bassses of Legal Institutions, University of Californiaa Press Berkeley. Los Angeles-London, Noeh, Zaini Ahmad-, 1980, Peradilan Agama Islam: Suatu Studi Tentang Landasan Politik Lembaga-lembaga Hukum, Intermasa, Jakarta.
Noeh, Zaini Ahmad dan Adnan, Abdul Basit,- 1983, Sejarah Singkat Pengadilan Agama di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya.
Notosusanto-, 1963, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Jajasan Badan Penerbit Gadjah Mada, Jogjakarta.
Patton, George Whitecross-, 1951, A Text-Book of Jurisprudence, Second Edition, Oxford at the Clarendon Press.
Pitlo-, 1978, Pembuktian dan Daluwarsa (alih bahasa, Arief, M.Isa) Intermasa, Jakarta.
Pound, Roscoe-, 1959, Jurisprudenci, Volume V Part 8. The Syistem Of Law, ST. Paul Minn, West Publishing Co.
Suhrawardi, 1999, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta.
Warkum Samitro, 2004, Azas-Azas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta












[1] Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Jakarta: Remaja Rosdakarya, 1993, hal. 30-32.
[2] Bustanul Arifin mengakui bahwa keberhasilan pelaksanaan tugas PA, antara lain dipengaruhi sejauhmana persepsi masyarakat terhadap keberadaan hukum yang ditangani PA. Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya, Jakarta, Gema Insani Press, 1996, hal. 87.
[3] Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta: Kencana, 2005, hal. 94.
[4] Lawrence M. Friedmann, Loc. Cit.
[5] A. Wasit Aulawi, “Sejarah Perkembangan Hukum Islam” dalam Amrullah Ahmad (ed), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hal. 54.
[6] Data base Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah

Rabu, 02 Januari 2008

KEPUASAN DAN LOYALITAS NASABAH BANK SYARI’AH

ABSTRACK

It has accured in Indonesian banking world Islamic Banking concept, that is business activity on syari’ah ethics. Saving the hard competition in banking sector, Islamic Bankng (i.e. Bank Muamalat) must improve its business strategy, such as service quality that cause custumer’s satifaction.
Bank Muamalat has good market share in Indonesian because it is suppoated by majority of moslem, who so long time use service of conventional Banking, move to use Islamic Banking service. More dos, it after Islamic atribute products, relegious commitment, trust and service quality which caouse coustumer satisfaction and loyality.
This study was held on Bank Mumamalat Cabang Semarang, with number of 100 respondent’s sample. The descriptive result showed the profile of Bank Muamalat Cabang Semarang custumers were majority sarjana (39%), karyawan/i perusahaan swasta (37%), and private company employee jobs type with salary beetwen 750.000 s/d 1.000.000 millon. In general, we can catagorize them in the middle class society.
Thus research was held with the purpose of analyzing the patnership between Bank Muamalat custumers through attribute product, relegious commitment, service quality and trust. Then find the connection between attribute product, relegious commitment, service quality and trust, custumers satisfaction and loyality in model form. We use the stuctural equation model (SEM) to examine the hypotesis, which was operated by AMOS program. Using the goodness of fit and regression weight criteria did feasibility study.
The result of feasibility study showed that model in this research was suitable enough. The regression weight result showed that there was a positive releationship between attribute product, relegious commitment, service quality trust, custumers satisfaction and loyality. Service quality enrolled big influence to the custumer satisfaction and loyality. Never theless variable os atrtribute product ang relegious commitment has less significant influence with custumer satisfaction and loyality.
Keyword: Kepuasan, Loyalitas, atribut produk, comitmen agama, kualitas jasa, kepercayaan, Bank Muamalat, SEM.


A. Pendahuluan
Dalam lingkungan dunia perekonomian Indonesia telah hadir konsep Islam pada produk pemasaran. Walaupun sebenarnya etika Islam dalam kegiatan pemasaran sudah banyak dilakukan, khususnya dalam kegiatan perekonomian rakyat, namun masih banyak yang mempertanyakan akan eksistensinya dalam masyarakat yang makin kompleks ini. Sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992, kini berdiri pula Bank Syariah Mandiri (BSM), Bank BNI Syariah, dan segera menyusul BRI Syariah, Bank Niaga Syariah dan Bank Mega Srariah. Kenyataan ini seakan menandai era baru: yairu kritisme terhadap idologi kapitalisme yang telah mencekram dunia sekian puluh tahun lamanya dan dirasakan semakin tidak mampu mensejahterakan , serta upaya intensif untuk mencari alternatif terbaik (Muhammad Isamil Yusanto, 2001)
Bank Muamalat merupakan bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah Islam, artinya bank yang beroperasi mengikuti ketentuan-ketentuan syari’ah Islam khususnya menyangkut tata-cara bermuamalat secara Islam. Kondisi persaingan sektor perbankan yang semakin ketat memaksa Bank Muamalat memperbaiki strategi usahanya, antara lain melalui peningkatan pelayanan yang dapat memuaskan nasabah. Menurut hasil survei SWA-Frontier mengenai custumer satisfaction terhadap pelayanan kantor cabang bank di Jakarta dan Surabaya dengan jumlah 669 responden , Bank Muamalat merupakan bank yang kurang begitu diminati oleh responden dengan 5 orang (0,8%) memilih Bank Muamalat sebagai bank yang mampu memberi pelayanan lebih baik.


Berdasarkan hasil penelitian oleh Survei SWA-Frontier, 2000 terhadap responden 669 menunjukkan adanya kelemahan bank ini dibidang pelayanan, dimana hanya 32% responden memilih menggunakan jasa Bank Muamalat sebagai bank yang paling diminati, selebihnya (78%) memilih bank yang lain. Kelemahan Bank Muamalat dari sisi internal antara lain : SDM yang kurang memadai, lemahnya sistem inter dan lemahnya pemodalan. Sedangkan dari sisi eksternal, persepsi dan penerimaan masyarakat terhadap keberadaan Bank Muamalat belum kuat, tantangan yang kuat dari pesaing , penyebaran perbankan syariah begitu luas dengan jumlah jaringan yang terbatas (Zaenal Arifin, 2000)
Namun demikian peluang bank syari’ah masih mempunyai peluang yang lebih lebar, hal ini dibuktikan bank syaria’ah (dalam hal ini Bank Muamalat Indonesia) terbukti mampu bertahan menghadapi krisis moneter. Disaat bank konvensional berguguran diterpa krisis, bahkan puluhan diantaranga terpaksa dilikwidasi, bank syaria’ah tetap tegar. Memang Bank Muamalat Indonesia pada puncak krisis tahun 1998 menderika kerugian 72 milyar, tetapi pada tahun 1999 keadaan ini sudah pulih dan Bank Muamalat Indonesia dapat meraup keuntungan sebesar Rp. 2 milyar (Muhammad Ismail Y, 2001).
Bank muamalat mnemperlihatkan kemungkinan bahwa bank dengan sistem syaria’ah berdasarkan al-Qur’an dan al Hadits memperlihatkan adanya kemungkinan bahwa bank syari’ah mulai dapat diterima dan mempunyai prospek yang cerah ( M. Syafi’I Antonio, 1999). Hal ini juga didukung oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama Islam, yang selama ini menggunakan jasa perbankan konvensional dapat beralih ke bank syari’ah. Oleh karena itu ketertarikan penulis untuk meneliti tentang Bank Syariah (dalam hal ini Bank Muamalat) karena sebagai lembaga perbankan yang berdasarkan syari’ah Islam yang pertama kemungkinan atribut-atribut produk yang Islami yang ada unsur syari’ah Islam, berpengaruh terhadap kepuasan dan loyalitas nasabah. Selain atribut-atribut produk tampaknya kualitas pelayanan, komitmen terhadap agana dan kepercayaan dalam dunia perbankan sangat besar pengaruhnya terhadap kepuasan dan loyalitas nasabah pada bank syariah. Berdasarkan paparan diatas permasalahannya adalah: bagaimana membangun kepuasan dan loyalitas nasabah sebagai pelanggan melalui kualitas pelayanan, atribut-atribut produk yang ditawarkan, kepercayaan dan komitmen agama.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi variabel-variabel kualitas pelayanan, atribut-atribut produk, kepercayaan, komitmen agama, kepuasan dan loyalitas nasabah dan (2) menganalisa hubungan kausalitas antara kualitas pelayanan, atribut-atribut produk, kepercayaan , komitmen, kepuasan dan loyalitas nasabah. Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah: (1) Sebagai evaluasi kinerja Bank Muamalat dari sisi pemasaran dalam mengevaluasi strategi pemasaran jasa perbankan yang telah dilaksanakan yang berkaitan dengan usaha meningkatkan kepuasan nasabah dan (2) sebagai bahan informasi untuk penelitian lebih lanjut.







Keterangan:

X1 : menghindari riba X13 : pengalaman masa lalu
X2 : hasil investasi menurut bagi hasil X14 : informasi
X3 : menghindari unsur ketidakpastian X15 : antusiasme
X4 : menghindari unsur judi X16 : mutu produk atau jasa
X5 : investasi yang halal X17 : harapan produk atau jasa
X6 : aktivitas sesuai dengan syari’ah X18 : kepuasan keseluruhan
X7 : kunjungan ketempat ibadah X19 : loyalitas kognitif
X8 : partisipasi dalam kegiatan agama X20 : loyalitas afektif
X9 : tingkat kepercayaan agama pribadi X21 : loyalitas konatif
X10 : kecepatan dan ketepatan
X11 : keramahan
X12 : kenyamanan

Untuk menguji hipotesis, pada penelitian ini menggunakan teknik analisis SEM (Structueal Equation Model) yang terdiri dari dua macam teknis analisis, yaitu:
1. Analisis faktor konfirmatori (confirmatory factor analysis) pada SEM yang digunakan untuk mengkonfirmasikan faktor-faktor yang paling dominan dalam suatu kelompok variabel
2. Goodness of fit dan Regression weight pada SEM Untuk menilai kesesuaian model estimasi berdasarkan tingkat pengukuran signifikan dari beberapa Goodness of Fit baik atau buruk dalam model, maka derajat ketepatan model ditentukan dari cut off Value antara lain.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah convinience sampling. Yang dimaksud dengan convinience sampling yakni metode pengambilan sampel yang didasarkan pada pemilihan anggota populasi yang mudah diakses untuk memperoleh jawaban/ informasi (Cooper dan Emory, 1995). Jumlah sampel dalam penelitian ditentukan dengan menggunakan rumus Rao, 1996 dengan jumlah 100 responden
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan metode survey dengan menggunakan daftar pertanyaan/ kuesioner yang disampaikan langsung atau tidak langsung kepada responden. Penyebaran kusioner secara langsung maksudnya adalah penulis langsung memberikan kuesioner kepada responden dalam hal ini adalah nasabah Bank Muamalat Cabang Semarang untuk diisi. Sedangkan secara tidak langsung maksudnya adalah peneliti memberikan kuesioner kepada petugas untuk disebarkan kepada responden. Kuesioner penelitian yang diberikan kepada nasabah berupa pertanyaan-pertanyaan yang mencakup semua unsur variabel. Jawaban kuesioner berupa pilihan ganda yang bersifat interval dengan skala 10 yang disebut numerical semantic differential scale. Terhadap jawaban responden kemudian diberi skor 1 (satu) untuk menyatakan pendapat responden sangat tidak setuju (STS) sampai dengan angka 10 (sepuluh) untuk pendapat responden yang menyatakan sangat setuju (SS).

D. PEMBAHASAN
Setelah measurement model dimentional melalui analisis konfirmatori dari variabel atribut produk, komitmen agama, kualitas jasa, kepercayaan, kepuasan dan loyalitas dapat dilihat dari masing-masing variabel dan dapat digunakan untuk mendefinisikan sebuah konstruk maka sebuah model keseluruhan atau full model Structural Equation Model dapat dianalisis. Hasil analisis faktor konfirmatori untuk model keseluruhan (full model) dapat dilihat pada gambar 2






















Hasil uji goodness of fit measure untuk keseluruhan model (full model) menunjukkan analisis faktor konfirmatori (confirmatory factor analysis) pada measurement untuk keseluruhan model (full model) tidak dapat di terima karena adanya keterbatasan-keterbatasan cut off value yang telah ditetapkan. Beberapa keterbatasan yang ada antara lain: 1. Chi-square (c2) menunjukkan angka yang besar yaitu 355,428 yang diharapkan nilainya rendah. Semakin kecil nilai c2 model semakin baik (Hulland, Hair dalam Augusty, 2000); 2. Significance Probability menunjukkan tingkat penerimaan p = 0,00 dimana belum memenuhi ketentuan minimum yaitu p ³ 0,05 (Hair, 1994); 3. GFI hanya menunjukkan tingkat penerimaan yang marginal karena tidak memenuhi ketentuan minimum yaitu GFI ³ 0,90; 4. AGFI menunjukkan besaran 0,683 yaitu lebih kecil dari ketentuan yang ada AGFI ³ 0,90; 5. CFI = 0,874 dibawah ketentuan yaitu CFI ³ 0,90; 6. RMSEA = 0,100 menunjukan lebih besar dari ketentuan yang ada dimana RMSEA £ 0,80 Dengan demikian keseluruhan model (full model) tidak dapat diterima karena belum memenuhi kelayakan sebuah model, bak secara regression weight maupun goodness of fit index. Untuk itu perlu dilakukan modifikasi terhadap model yang dikembangkan supaya memiliki tingkat prediksi yang diharapkan. Modifikasi (revised) dari model keseluruhan disajikan pada gambar 3. CMIN=56,039 P=0,398 CMIN/DF=1,038 GFI=0,926 AGFI=0,874 TLI=0,996 CFI=0,947 Pada gambar 3 menunjukkan hasil modifikasi dari keseluruhan model dimana terdapat beberapa modifikasi terhadap variabel-variabel yang ada antara lain: 1. Variabel atribut produk, dimana dalam analisis konfirmatori hasil invesatsi menurut bagi hasil, menghindari judi dan investasi yang halal merupakan atribut produk merupakan unsur-unsur produk yang dipandang penting oleh nasabah dan dijadikan dasar dalam keputusan untuk mengadakan hubungan dengan Bank Muamalat Cabang Semarang, pada akhirnya mempengaruhi sikap puas nasabah terhadap produk Bank Muamalat. Secara keseluruhan atribut produk yang Islami mempunyai pengaruh positif pada kepuasan nasabah, walaupun pengaruhnya tidak significan ( signifikan CR-crticcal ratio >1,96 atau significan pada 0,05% ). Pada lampiran weight regression atribut produk adalah 0,13 sedangkan CR-critical ratio adalah 0,612.
2. Pada variabel komitmen agama, dimensi kepercayaan agama pribadi kontribusinya kecil sekali dalam menjelaskan variabel komitmen agama. Secara keseluruhan komitmen agama mempunyai pengaruh positif terhadap kepuasan nasabah dalam menggunakan jasa Bank Muamalat dapat dilihat pada lampiran , dimana komitmen agama mempunyai regression weight 0,29 atau 29%. Pengaruh komitmen agama terhadap kepuasan tidak begitu significan, hal ini dikarenakan CR-critical rationya adalah 1,200 lebih kecil dari 1,96 atau significan pada 0,05%.
3. Dalam analisis faktor konfirmatori, kepercayaan dapat dibangun melalui pengalaman masa lalu nasabah dan informasi yang baik sehingga nasabah menaruh kepercayaan pada Bank Muamalat. Secara keseluruhan variabel kepercayaan berpengaruh secara significan terhadap kepuasan nasabah, hal ini dapat dilihat pada CR-critical ratio yang lebih besar dari 1,96 sedangkan regression weghtnya adalah 0,49.
4. Pada vartiabel kepuasan , dimensi harapan layanan pengaruhnya kecil terhadap kepuasan nasabah karena dalam penelitian ini menilai persepsi (kesan yang diterima) oleh nasabah atas pengalaman menggunakan jasa perbankan bukan pada harapan (expetation), sedangkan harapan sendiri sifatnya dinamis atau sulit diukur. Penilaian atas persepsi akan kepuasan nasabah sesuai edngan pandangan Cronin dan Taylor (1992, 1994) Bitner, et.al (1994) sedangkan Parasuraman masih menggunakan harapan untuk menilai kepuasan. Sedangkan mutu produk atau jasa pengaruhnya juga kecil didalam menilai kepuasan nasabah. Jadi yang berpengaruh dalam menilai kepuasan nasabah adalah kepuasan layanan keseluruhan, dimana keseluruhan kesan yang diterima atas pengalaman nasabah dalam menggunakan jasa Bank Muamalat dari tahap awal sampai proses.
5. Variabel loyalitas dapat dijelaskan melalui loyalitas afektif dan konatif. Kepuasan merupakan konsep kompleks dengan komponen afektif (Donald J. S, et. al, 1998). Salah satu manifestasi yang diharapkan adalah emosi kepuasan, komponen yang berdasarkan perasaan akan mempunyai pengaruh kuat terhadap hasil-hasil yang emosional berdasarkan perasaan. Hubungan antara nasabah dan pelayanan yang baik, kepercayaan , komitmen agama dan atribut produk yang sifatnya Islami membentuk hubungan emosional dan ikatan-ikatan yang kuat. Semakin puas nasabah maka semakin loyal nasabah pada Bank Muamalat. Hal ini terbukti dengan regression weight yaitu 0,55 dan CR-critical rationya diatas 1,96 atau tingkat significannya 1%.





E. KESIMPULAN
Hipotesa 1 (H1) menyatakan bahwa semakin tinggi derajat kekhasan atribut yang Islami pada Bank Syari’ah, semakin tinggi kepuasan yang dirasakan nasabah. Berdasarkan analisis menunjukkan hubungan positif antara atribut produk dengan kepuasan.
Hipotesa 2 (H2) menyatakan semakin tinggi derajat komitmen agama nasabah, semakin tinggi kepuasan yang dirasakan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dimana regression weight sebesar 0,29, critical rationya CR lebih kecil dari 1,96, namun demikian pengaruh komitmen agama terhadap kepuasan nasabah lebih besar pengaruhnya dari pada atribut product.
Hipotesa 3 menyatakan semakin tinggi kualitas jasa, maka semakin tinggi kepuasan yang dirasakan nasabah. Hipotesa ini sesuai dengan pendapat Cronin dan Tailor (1992), Donald J. Shemawell et.al (1998), Fornell (1992), Selnes (1993), Jerry B. Gotlieb,et.al (1994), Yi (1990), Bitner (1990) dan Oliver (1990).
Berdasarkan analisis data kualitas yang disediakan oleh Bank Muamalat pengaruhnya signifikan terhadap kepuasan nasabah, hal ini dapat dilihat CR Critical rationya lebih besar dari 1,96.
Kesimmpulan pada hipotesa 5 menyatakan semakin baik kepuasan nasabah maka semakin tinggi kepuasa yang dirasakan nasabah. Hipotesa ini sesuai dengan pendapat Cronin dan Tailor (1992), Donald J. Shemawell et.al (1998), Fornell (1992), Selnes (1993), Jerry B. Gotlieb,et.al (1994), Yi (1990), Bitner (1990), Oliver (1990), Tor Wallin Andreassen (1994), Bohte (1997), Mowen (1995), Teas (1993) dan Busu Swasta (1999). Hasil empiris menunjukkan kepuasan dan Loyalitas mempunyai hubungan positif hal ini menunjukkan semakin puas nasabah maka semakin tinggi loyalitas nasabah.
Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan, antara lain:
1. Penelitian ini dilakukan hanya pada Bank Muamalat, sehingga hasilnya belum tentu mewakili dari Bank syari’ah. Ada BNI Syari’ah, Bank Mandiri Syari’ah, Bank Danamon Syari’ah sehingga untuk mewakili Bank yang berdasarkan syariah perlu di teliti lebih lanjut.
2. Penelitian ini dilakukan pada jasa perbankan yang mempunyai medium contact service, sehingga penelitian ini perlu diuji pada high contact.
3. SEM tidak bisa menjamin secara sempurna didalam menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi.
Agenda Penelitian Dimasa Depan
Hubungan kemitraan antara nasabah dan Bank Muamalat , dalam kajian ilmiah perlu dikembangkan suatu model untuk menginvestasikan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan dan loyalitas nasabah. Perhatian dikhusukan pada pengembangan aspek afektif (emosional) dan Kognitif antara nasabah dengan Bank Muamalat. Aspek afektif perlu dikembangkan melalui pengembangan pada variabel atribut produk maupun komnitmen keagamaan.
Hasil penelitian menyediakan validitas empiris dari Donald J. Shemawell (1988), Cronin dan Taylor (1992) dan Oliver (1993) yang mengkonseptualisasi kepuasan, secara jelas penelitian ini diperlukan untuk memperluas dasar-dasar data untuk pengembangan dimasa yang akan datang.
Penelitian dimasa yang akan datang diharapkan dilakukan pada perbankan Syari’ah lainnya, antara lain BNI Syari’ah, Mandiri Syariah, Danamon Syari’ah. Karena penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan dan loyalitas nasabah dari aspek emotional (afektif) jarang dilakukan di Indonesia, sehingga perlu dikaji dan diteliti terutama variabel-variabel yang menyebabkan nasabah mengadakan hubungan dengan Bank Syari’ah baik secara kognitif maupun afektif.

PENGARUH RELIGIUSITAS , ETIKA KERJA ISLAM DAN INDIVIDUAL RANK TERHADAP KINERJA LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kinerja keuangan lembaga keuangan Syari’ah dan untuk memperoleh bukti empiris serta menemukan kejelasan hubungan fenomena sosial keagamaan dengan kinerja lembaga keuangan syari’ah, baik secara kelembagaan ataupun individu sebagai unit yang dianalisis. Adapun pengaruh religiusitas, etika kerja Islam dan individual rank terhadap kinerja lembaga keuangan syari’ah (BMT) .
Kontribusi penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu di bidang ekonomi Islam serta melengkapi teori manajemen keuangan dan perbankan syari’ah yang telah ada , khusunya di bidang keuangan syari’ah. Bagi lembaga keuangan syari’ah dan praktisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap penyusunan rencana strategik dalam rangka meningkatkan kinerja lembaga keuangan syrai’ah
Berdasarkan investigasi dari telaah pustaka yang dikembangkan, maka dibangun suatu model kerangka berpikir, dengan hipotesis sebagai berikut: (1) terdapat perbedaaan antara kinerja lembaga keuangan syari’ah, ditinjau dari struktur modal, aktiva, likwiditas, efisiensi dan rentabilitas . (2) religiusitas, etika kerja Islam dan individual rank berpengaruh terhadap kinerja lembaga keuangan syari’ah.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan tingkat eksplanatif dan rancangan penelitian adalah penelitian ini penelitian sensus dengan objek : relegiusitas, etika kerja Islam, individual rank dan kinerja lembaga keuangan syari’ah (BMT). Sedangkan subjeknya adalah pimpinan atau manager dari 40 BMT yang tergabung dalam Koperasi Pusat Syarai’ah Jawa Tengah sebagai unit yang dianalisis.
Untuk menguji hipotesis pertama: di gunakan analisis diskriptif dan komperasi dengan menggunakan rasio-rasio keuangan dari peneliti terdahulu dan berdasarkan pedoman dari PINBUK Jawa Tengah. Untuk menguji tujuan kedua: digunakan analisis multiple regression.
Hasil temuan dari analisis rasio-rasio keuangan terhadap 40 BMT di Jawa Tengah adalah : dari sisi profitabilitasnya rata-rata termasuk sehat, sedangkan rasio solvabilitasnya yaitu termasuk golongan beresiko rendah , namun dalam sisi likwiditas, sebagian besar BMT mempunyai rasio yang kecil, dibawah ketentuan dari Bank Indonesia yaitu 10%.
Sedangkan hasil komputasi dengan bantuan program SPSS , disimpulkan bahwa religiusitas, etika kerja Islam dan individual rank, berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja lembaga keuangan syari’ah. Untuk variabel individual, tingkat segnifikansinya paling rendah rendah dari pada relegiusitas dan etika kerja Islam. Hal ini menunjukkan bahwa variabel individual rank yang ada pada BMT kurang bermakna dalam menjelaskan kinerja lembaga keuangan syari’ah, namun denikian pengaruhnya signifikan dan positif.
Kesimpulan yang dapat diambil dari studi ini bahwa: (1) terdapat perbedaan rasio keuangan diantara lembaga keuangan syari’ah di Jawa Tengah, dimana sebagian besar lembaga keuangan syari’ah termasuk dalam katagori cukup sehat. (2) Peningkatan kinerja lembaga keuangan syari’ah dipengaruhi oleh religusitas, etika kerja Islam dan individual rank secara positif dan signifikan .
Kata Kunci: Religiusitas, Etika Kerja Islam, Individual Rank, Kinerja Lembaga Keuangan Syari’AH, BMT.

MEMBANGUN KEPUASAN PENCARI KEADILAN DI LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA

ABSTRACT
What became the background of this research was the availability of a report from National Ombudsman Commission (2005) which stated that judicial institution was in the fifth rank of most often reported institutions after the prosecution. The substance of the report showed that most people who made reports were not satisfied with service. Religious court, which is one of holders of the power of justice, showed an increase in cases year by year. An increase in the number of cases was one of indicators of improvement in the service performance of religious court. Similarly, the number of cases which were decided increased year by year. This showed that judges of religious court were increasingly professional in performing their tasks and duties in settling cases.
This research aimed at: (1) analyzing the service performance of religious court, (2) knowing judges’ professionalism in the perception of the society who sought for justice and judges, (3) knowing the difference of professionalism between judges, (4) knowing the influence of judges’ professionalism service on the satisfaction of the society who sought for justice, (5) knowing a correlation between judges’ professionalism and the satisfaction of the society who sought for justice.
A methodology used in this research was: Population and Sample. First, 6 religious courts were chosen from 36 religious courts in Central Java by using a technique of stratified random sampling based on categories of Class IA, IB and IIA. Second, 150 members of the society who sought for justice or those who were involved in lawsuits by using a technique of convenience random sampling. Third, 60 judges in 6 religious courts by using a method of census.
To analyze the first aim, Society Satisfaction Index (IKM) was used, while for the second and third aims, Judge’s Professionalism Index (IPH) was used. To analyze the fourth aim, a non-parametric statistical analysis of Wilcoxon was used. For the fifth aim, a technique of Structural Equation Modelling (SEM) from AMOS 4 was used. And to analyze the sixth aim, a statistical analysis of Kendal’s Tau test was used.
From the result of the data computation, it could be concluded that (1) service performance in religious court was in the category of good, but there were several indicators which needed improvement in order to become an excellent service, among them were: service procedure, service speed, the certainty of cost, and the convenience of service; (2) the performance of judges’ professionalism in the perception of the society was good, but there were several which needed to be improved so that judges were increasingly professional, namely judges’ skill, especially in the indicator of: training and social responsibility of the profession which needed to be improved; (3) there was a difference of the perception of judges’ professionalism between the society who sought for justice and judges, but the difference was not big enough, this was proved by the result of Judge’s Professionalism Index which showed that both shared the category of good; (4) there was a positive and significant influence of service and professionalism on the satisfaction of the society who sought for justice, and the influence of judges’ professionalism was bigger than the influence of judges’ service; (5) there was a positive and significant correlation between judges’ professionalism and the satisfaction of the society who sought for justice, this indication was proved by a decrease in the number of cases which was brought into cassation year by year.
Keywords: service, judges’ professionalism, the satisfaction of the society who sought for justice, religious court.

A. Pendahuluan
Penyelenggaraan pelayanan yang dilaksanakan oleh lembaga peradilan dalam sektor pelayanan, terutama menyangkut pemenuhan hak-hak masyarakat pencari keadilan, kinerjanya masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat antara lain banyaknya pengaduan atau keluhan dari masyarakat pencari keadilan, seperti tidak profesionalnya aparat hukum (Hakim) , prosedur dan mekanisme kerja pelayanan berbelit-belit, tidak transparan , kurarng akomodatif dan kurang konsisten. Menurut laporan Komisi Ombudsman Nasioanal lembaga peradilan termasuk peringkat lima institusi terlapor terbanyak setelah Kejaksaan. Subtansi laporan sebagian besar pelapor tidak puas dengan pelayanan.
Peradilan Agama merupakan salah satu pemegang kekuasaan kehakiman, menunjukkan peningkatan perkara. Pada tahun 2003 terdapat 45.763 perkara naik pada tahun 2004 menjadi 47.847 atau naik 4,55 persen, dan tahun 2005 naik menjadi 50.481 perkara atau naik 5,51 persen. Naiknya jumlah perkara di Peradilan Agama mengindikasikan kinerja pelayanan di Peradilan Agama menunjukkan peningkatan kinerja pelayanan. Demikian juga kinerja Hakim pada Peradilan Agama menunjukkan peningkatan hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah perkara yang diputus setiap tahunnya. Jumlah perkara yang diputus Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2005 . Pada tahun 2003 terdapat 36.989 perkara yang diputus, mengalami peningkatan pada tahun 2004 menjadi 38.290 perkara atau naik 3,52 persen . Pada tahun 2005 perkara yang diputus meningkat menjadi 40.965 atau naik 6,98 persen Meningkatnya jumlah perkara yang diputus oleh Hakim menunjukkan semakin profesionanya Hakim melaksanakan tugas dan kewajiban dalam menyelesaikan perkara-perkara yang masuk di Peradilan Agama dengan adil dan benar , yang dapat memuaskan masyarakat pencari keadilan.
Berdasarkan kondisi-kondisi yang telah diuraikan, dapat diperoleh gambaran latar belakang situasional dan kondisional atas permasalahan pada lembaga peradilan, maka dengan meningkatkan pelayanan dan profesionalisme Hakim dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat dama mencari keadilan. Berdasarkan latar belakang masalah, maka tujuan penelitian adalah (1) Untuk mengetahui kinerja pelayanan pada Lembaga Peradilan Agama Jawa Tengah (2) untuk mengetahui profesionalisme Hakim pada Lembaga Peradilan Agama Jawa Tengah dalam persepsi masyarakat pencari keadilan (3) Untuk mengetahui profesionalisme Hakim pada Lembaga Peradilan Agama Jawa Tengah dalam persepsi Hakim (4) Untuk mengetahui hubungan antara profesionalisme Hakim dengan kepuasan masyaakat pencari keadilan


B PELYNAN PUBLIK
Dalam Keputusan Menpan No. KEP/25/M.PAN/2204 yang dimaksud pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan publik yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan, maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan. Menurut Pedoman Sistem Pelayanan Terpadu Mahkamah Agung (2004) pelayanan lembaga peradilan adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh lembaga peradilan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat pencari keadilan, maupun sebagai pelaksana ketentuan pearturan perundang-undangan.
Berdasarkan Keputusan MEN. PAN NO: 63/KEP/M.PAN/7/2003 terdapat 14 unsur yang relevan, valid dan reliabel dalam mengukur kepuasan masyarakat antara lain : (1) prosedur pelayanan (2) persyaratan pelayanan (3) kejelasan petugas pelayanan (4)kedisiplinan petugas pelayanan (5) tanggung jawab petugas pelayanan (6) Kemampuan petugas pelayanan (7) kecepatan pelayanan (8) keadaan mendapatkan pelayanan (9) kesopanan dan keramahan petugas (10) kewajaran biaya pelayanan (11) kepastian biaya pelayanan (12) kepastian jadwal pelayanan (13) kenyamanan lingkungan dan (14) keamanan pelayanan,
Ke empat belas unsur pelayanan diatas, dijadikan dasar untuk mengukur tingkat kepuasan penyelenggaraan pelayanan publik melalui indek kepuasan masyarakat. Pengukuran indek kepuasan masyarakat diperlukan untuk mengetahui perkembangan kinerja pelayanan. Dengan harapan dapat terjadi hubungan timbal balik antara masyarakat dengan lembaga penyelenggara pelayanan dalam hal ini lembaga peradilan.
2. Profesionalisme Hakim
Menurut (Bernardi, 1994:68) profesional adalah tingkat penguasaan dan pelaksanaan terhadap knowledge, skill, dan character. Seorang yang profesional akan mempunyai tingkat dalam Webster New World Dictionary, kata profesi (profession) diartikan a vocation or occupation requiring advanced education ang training, and involving intellectual skills, as medicine, law, theology, engineering, teaching, etc . Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia Bahasa (Balai Pustaka, 1998) mengartikan profesi dengan : bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejujuran dan sebagainya). Abdulkadir (1997 : 58) merumuskan profesi sebagai pekerjaan tetap di bidang tertentu berdasarkan keahlian yang dilakukan secara bertanggung jawab dengan memperoleh penghasilan. Pekerjaan yang menjalankan profesi adalah profesional.
Oleh karena itu seorang Hakim dalam menjalankan profesinya dituntut untuk bertindak profesional. Ada beberapa indikator yang dapat terukur untuk mengetahui seoarang Hakim dikatakan profesional dalam menjalankan tugasnya, antara lain :
(1) Kecakapan yaitu seorang Hakim harus mempunyai derajat pengetahuan (knowladge) dan keterampilan (skill) tentang prinsip-prinsip dan prosedur hukum yang ada, serta bagaimana menerjemahkan dan menerapkan prisisp dan prosedur hukum tersebut. Hakim juga harus mampu meningkatkan kualitas prosedur dan adiministrasi Peradilan Agama melalui pengetahuan dan keterampilan dalam meningkankan kinerja seoarang Hakim, (2) Pengalaman, seorang Hakim harus mempunyai pengalaman sebagai dasar evaluasi terhadap performance Hakim dalam pemahaman subtansial tentang masalah-masalah hukum dan proses peradilan dan (3) Integritas yaitu seorang Hakim harus memiliki karakter atau kepribadian yang jujur, adil serta taat pada kaedah hukum dan kaedah moral serta diharapkan dapat mengesampingkan kepentingan kepentingan pribadi dan kepentingan politik partisan. ( Komisi Hukum Naional, 2006)
3 Kepuasan Pelayanan
Kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja pelayanan yang dirasakan dengan yang diharapkannya. Apabila kinerja tidak sesuai dengan harapan, maka masyarakat kecewa, bila kinerja sesuai harapan maka masyarakat puas. Tolak ukur kepuasan adalah terjadinya keseimbangan antara apa yang dirasakan dengan harapan. Kualitas yang dirasakan diperoleh : melalui pengalaman menggunakan jasa peradilan. Nilai yang dirasakan atas kualitas pelayanan yang terkait dengan harapan yang melekat pada jasa , yang meliputi nilai pelayanan, nilai karyawan,, dan citra. Nilai jasa di pengaruhi oleh nilai pelayanan peradilan, sedangkan nilai pelayanan terkait dengan fasilitas dan kemudahan yang ditawarkan serta informasi yang mudah. Nilai karyawan ditunjukkan dari kemampuan memberi pelayanan, citra dipengaruhi oleh persepsi tentang kinerja lembaga peradilan ( Ridwan et,al, 2004: 566). Jadi kepuasan pelayanan adalah hasil pendapat dan penelian masyarakat pencari keadilan terhadap kinerja pelayanan yang diberikan oleh aparatur penyelenggara pelayanan publik dalam hal ini Pengadilan Agama (KEP/M.PAN/7/2003: 72), baik pelayanan administrasi dan pelayanan hukum.

C. METODELOGI PENELITIAN
Pertama, Pengadilan Agama yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah 6 (enam) Pengadilan Agama dari 36 (tiga puluh enam) Pengadilan Agama se Jawa Tengah . Pengambilan Sampel ini didasarkan stratified random sampling berdasarkan katagori Kelas Pengadilan Agama yaitu Kelas IA, IB dan IIA. Yaitu : Pengadilan Agama Semarang, Kendal, Demak, Salatiga Ambarawa dan Kajen. Kedua, Sampel untuk masyarakat pencari keadilan (orang yang berperkara) ditentukan dengan menggunakan rumus : Untuk mendapatkan hasil sesuai dengan tujuan penelitian maka dalam penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 150 responden agar populasi terwakili oleh sampel yang tersebar dalam 6 (enam) Pengadilan Agama dengan menggunakan teknik confinience random sampling. Ketiga, sampel dalam penelitian adalah seluruh Hakim yang yang ada di 6 (enam) Pengadilan Agama yang terpilih (mewakili populasi) dalam penelitian ini dengan jumlah 60 Hakim dengan menguunakan metode sensus.
Untuk menganalisis data dalam penelitian ini, ada beberapa metode analisis yang digunakan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Untuk menganalisis tujuan pertama penelitian, yaitu untuk mengetahui kinerja pelayanan di Peradilan Agama digunakan indek kepuasan masyarakat (IKM) yang menggunakan 14 indicator .
Untuk menganalisis tujuan kedua dan ketiga penelitian, yaitu untuk mengetahui profesionalisme Hakim dalam persepsi Masayakat pencari keadilan dan persepsi Hakim , digunakan analisis Index Profesionalisme Hakim (IPH) yang menggunakan 3 (tiga) indikator profesionalisme
Untuk menguji tujuan penelitian keempat , yaitu untuk mengetahui perbedaan Profesionalisme Hakim menururt persepsi masyarakat pencari keadilan dengan persepsi Hakim, digunakan anaisis statistik non parametrik Wilcixon, dengan bantuan program SPSS . Sedangkan Untuk menganalisis tujuan kelima, menggunakan teknik Structural Equation Modeling (SEM) . Untuk menganalisis tujuan keenam penelitian, yaitu untuk mengetahui hubungan antara profesionalisme Hakim dengan kepuasan masyarakat pencari keadilan menggunakan analasis statistic Uji Tau Kenndal

D. HASIL DAN PEMBAHASAN
1 Kinerja Pelayanan Pengadilan Agama
Untuk menganalisis tujuan pertama penelitian yaitu mengetahui kinerja pelayanan pada 6 (enam) Pengadilan Agama di Jawa Tengah yang menjadi objek penelitian : Nilai indek unit pelayanan hasil penelitian sebagai berikut: Nilai IKM setelah dikonversi (nilai indeks x nilai dasar) 2,73279 x 25 = 68,31975. Jadi dapat disimpulkan. bahwa kinerja pelayanan pada Pengadilan Agama dalam katagori baik. Namun masih ada beberapa indicator pelayanan untuk menjadi pelayanan excellence ada beberapa prioritas perbaikan dari unsur-unsur pelayanan, antara lain:
1. Kecepatan pelayanan, secara empiris 48,7 persen responden menyatakan pelayanan di Pengadilan Agama kurang cepat. Menurut peneliti masih dalam batasan yang wajar, karena pelayanan yang ditawarkan oleh Pengadilan Agama mempunyai 2 (dua) dimensi pelayanan yaitu pelayanan hukum dan pelayanan adminsitrasi, sehingga pelayanan di Pengadilan Agama mempunyai karakteristik yang berbeda dengan pelayanan public lainnya. Khusus berkenaan dengan penyelesaian perkara, pembenahan-pembenahan telah dilakukan dimulai dari Mahkamah Agung. Sejak tahun 2006 lewat Sitem Informasi Mahkamah Agung RI (SIMARI) dengan nomor telpon (021) 384 9999 proses penyelesaian perkara dapat diakses oleh masyarakat pencari keadilan. Secara bertahap Sistem Informasi ini akan diterapkan keseluruh peradilan di Indonesia termasuk di Pengadilan Agama.
2. prosedur pelayanan. Secara empiris menunjukkan 49,3 persen responden menyatakan prosedur di Pengadilan Agama tidak mudah. Besarnya jawaban responden terhadap ketidakpuasan prosedur pelayanan, mengindikasikan masyarakat pencari keadilan banyak yang tidak mengetahui dengan jelas prosedur pelayanan di Pengadilan Agama, oleh karena itu kewajiban Pengadilan Agama mengkomunisikan dan menginformasikan prosedur pelayanan, baik melalui gambar, flow chart atau melalui bagian informasi (custumer service). Oleh karena itu prosedur pelayanan peradilan sekurang-kurangnya memuat (1) tata cara pengajuan permohonan pelayanan, (2) tata cara penanganan pelayanan, (3) tata cara penyampaian hasil dan (4) tata cara penyampaian pengaduan pelayanan. Untuk itu tugas dan kewajiban Pengadilan Agama untuk mempermudah prosedur pelayanan yang ada dengan beberapa cara : (1) dibuat alur atau flow chart yang dipasang diruangan pelayanan di setiap Pengadilan Agama tentang prosedur , syarat-syarat teknis dan administrasi agar masyarakat mengetahui dengan mudah dan jelas tahapan-tahapan yang harus ditempuh dalam rangka penyelesaian sesuatu pelayanan (2) transparasi artinya prosedur pelayanan harus transparan dan mudah diakses oleh masyarakat pencari keadilan, serta mudah dimengerti dengan menggunakan bantuan teknologi Informasi kalau perlu on line dan dapat diakses secara mudah oleh masyarakat umum, (3) membuat pedoman tentang prosedur pelayanan berupa standar pelayanan sebagai dasar ukuran kualitas pelayanan yang wajib ditaati oleh pemeberi dan penerima pelayanan. standar pelayanan dibuat harus realistis, jelas dan mudah dimengerti oleh para pemberi dan penerima pelayanan.
3. kepastian biaya, secara empiris menunjukkan 36 persen responden menyatakan bahwa biaya pelayanan yang ada di Pengadilan Agama tidak pasti. Besarnya jawaban responden terhadap ketidakpuasan terhadap kepastian biaya pelayanan, mengindikasikan bahwa kurang adanya transparansi mengenai besarnya biaya administrasi dan perkara di Pengadilan Agama. Sebagian masyarakat tidak mengetahui besarnya biaya pelayanan, untuk memperlancar proses pelayanan, masyarakat mula-mula dikenai biaya panjar yang besarnya bervariasi. Berdasarkan buku pedoman jenis biaya dan biaya perkara yang harus dibayar oleh masyarakat pencari keadilan harus didasarkan pada ketentuan yang berlaku. Sejak satu atap dengan Mahkamah Agung sampai adanya Undang-Undang No. 3 tahun 2006 petunjuk teknis tentang jenis dan besarnya biaya perkara sampai sekarang belum ada. Pada Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 pasal 90 ayat (1) biaya perkara meliputi:
a. biaya kepaniteraan dan biaya materai yang diperlukan untuk perkara tersebut;
b. biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya pengambilan sumpah yang diperlukan dalam perkara tersebut;
c. biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan pengadilan dalam perkara tersebut; dan
d. biaya pemanggilan, pemebritahuan, dan lain-lain atas perintah pengadilan yang berkenaan dengan perkara tersebut.
4 kenyamanan pelayanan. Secara empiris menunjuukan 34,7 persen responden menyatakan kurang nyaman atas pelayanan di Pengadilan Agama. Dilapangan ada beberapa keluhan dari responden antara lain : ruang tunggu yang kurang nyaman (tempatnya terbatas dan ruangannya sempit, panas, tidak ada bahan bacaan seperti koran atau majalah untuk mengisi waktu, ruaang tunggu sidang, tempatnya kurang bersih dan kurang rapi). Sebagian besar Pengadilan Agama mempunyai keterbatasan mengenai lahan yang sempit sehingga minimnya fasilitas pendukung seperti lingkungan yang indah, tempat parkir yang luas dan bahkan untuk tempat ibadah. Kondisi kantor yang sebagian besar merupakan bangunan lama dan belum terstandarkan seperti pada Peradilan Umum.. Sejak satu atap dengan Mahkamah Agung, sudah mulai ada peningkatan terutama besarnya anggaran dan bahkan bentuk kantor distandarkan seperti peradilan-peradilan lainnya. Pada Tahun 2005 anggaran belanja untuk seluruh peradilan sebesar Rp. 1.400.668.748.000 (satu trilyun lebih) meningkat Rp. 606.129.500.000 (enam ratus milyar) , menjadi Rp. 2.006.798.200.000 (dua trilyun lebih). Kenaikan Anggran Belanja ini berdampak langsung terhadap pengadaan dan pembangunan fasilitas pelayanan dalam rangka meningkatkan kenyamanan pelayanan bagi masyarakat pencari keadilan di Pengadilan Agama.
2 Indek profesionalisme Hakim (IPH) adalah setelah dikonversi 2,9254 x 25 = 73,84 yang berarti kinerja Hakim adalah profesional. Masyarakat pencari keadilan memandang bahwa profesioanalisme Hakim lebih banyak di pengaruhi oleh integritas (carakter) seorang Hakim. Secara empiris dapat dibuktikan nilai IPH untuk integritas Hakim adalah 3,213 dengan 71,3 persen responden menyatakan bahwa integritas Hakim yang ada di Pengadilan Agama adalah baik.
Sesuai dengan sumpah Hakim, dalam menjalankan profesinya Hakim harus mempunyai integitas dan etika moral , yang berasal dari ajaran agama Islam yang berguna bagi pembinaan akhlaqul karimah Hakim. Oleh karena itu seorang Hakim senantiasa bertindak jujur, adil, bijaksana, , tidak membeda-bedakan orang, dan berbudi luhur sesuai dengan sumpah Hakim . Dalam ajaran Islam, sumpah adalah pernyataan niat yang dikuatkan dengan menyebut nama Allah dan yang bersumpah harus bertanggung jawab terhadap sumpahnya, sedangkan Allah tidak menyukai orang-orang yang melanggar sumpahnya. Selain itu banyak Hakim di Pengadilan Agama juga berperan sebagai tokoh agama (mubaliq) dalam bermasayarakat. Hal ini ada hubungannya dengan historis Peradilan Agama, dimana Hakim Pengadilan Agama dahulu berasal dari kalangan atau tokoh agamis (Kyai) yang membawa corak tersendiri bagi integritas seorang Hakim .
3 Melihat hasil analisis data , maka dapat disimpulkan bahwa nilai indek profesionalisme Hakim (IPH) setelah konversi 3,1075 x 25 = 77,6875 masuk dalam katagori profesional. Pengalaman merupakan indikator yang paling kuat didalam menjelaskan profesionalisme. Untuk itu dalam rangka meningkatkan profesionalisme Hakim, ada beberapa yang harus diperhatikan, anatara lain:
Pertama. Hakim sebagai individu, dimana seorang Hakim harus dapat meningkatkan Kecakapannya sebagai seorang yang profesional karena secara empiris terbukti kecakapan mempunyai nilai IPH yang paling kecil. Salah satu upaya dengan cara meningkatkan tanggungjawab sosial profesi Hakim, karena secara empiris Hakim yang menjawab tentang tanggungjawab sosial profesinya, sangat kurang dan bahkan tidak pernah melakukan tanggung jawab sosial profesinya. Seorang Hakim tidak hanya bertugas menerima dan memutus perkara saja, tapi juga aktif dalam menuangkan ide-ide atau pikiran-pikiran dalam rangka memberi solusi dan memecahkan masalah-masalah hukum yang terjadi di masyarakat baik melalui tulisan dalam jurnal, artikel dan bahkan menulis sebuah buku sebagai bukti pengabdian sosial profesi seorang Hakim. Menurut Sawyer (2003) seorang yang profesional salah satunya indikatornya harus mempunyai tanggung jawab sosial profesi, berupa peningkatan pengetahuan dan keahlian yang baru baik didapat melalui buku-buku, Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan, dan bahkan juga aktif dalam penulisan artikel, jurnal dan penulisan buku.
Kedua. peningkatan kualitas dan profesionalisme Hakim perlu mendapat prioritas dengan peningkatan pendidikan dan pelatihan yustisial Hakim. Secara empiris banyak hakim yang kurang dapat mengikuti pelatihan yustisial. Kondisi ini membuat profesionalisme Hakim dilihat dari kecakapannya mempunyai nilai index yang paling kecil (lihat tabel 5). Ada beberapa faktor yang menyebakan tidak meratanya pendidikan dan pelatihan yang diikuti oleh Hakim: pertama: pelatihan yustisial yang diadakan oleh Mahkamah Agung dalam upaya meningkatkan kinerja Hakim, hanya diikuti oleh Ketua atau Wakil Ketua dan bahkan hanya diikuti oleh Hakim-Hakim tertentu saja. Sehingga banyak sekali Hakim yang lebih membutuhkan pendidikan dan pelatihan, mempunyai kesempatan kecil untuk mengikuti pelatihan dan bahkan banyak sekali Hakim yang belum mengikuti pendidikan dan pelatihan yustisial. Kedua ; keterbatasan anggaran pemyelenggaraan pendidikan dan pelatihan untuk seluruh Hakim di Lingkungan Pengadilan Agama Jawa Tengah yang berjumlah 380 Hakim yang dibiyayai dari APBN. Dampak krisis ekonomi yang sampai sekarang masih terasa, secara langsung berpengaruh terhadap penerimaan dan pengeluaran APBN, termasuk terbatasnya alokasi anggaran untuk pendidikan dan pelatihan Hakim di Mahkamah Agung. Angaran belanja negara yang diperuntukkan untuk Mahkamah Agung dari seluruh pengadilan dari ke empat lingkungan peradilan seluruh Indonesia pada tahun 2006 yang disetujui Rp. 2.006.798.200.000 (dua trilyun lebih) dari empat trilyun yang diajukan oleh Mahkamah Agung. Kenaikan anggaran tersebut masih jauh dari yang diperlukan oleh peradilan seluruh Indonesia. Sehingga pelaksanaan pendidikan dan pelatihan untuk Hakim dilaksanakan secara bertahap dan bahkan pesertanya dibatasi. Akibatnya banyak Hakim-Hakim Pengadilan Agama Jawa Tengah belum mendapatkan pendidikan dan pelatihan. Sebagai bentuk pertanggung jawaban sosial profesi, banyak sekali hakim yang mengikuti pendidikan dan latihan lanjutan dengan biaya mandiri. Ada beberapa Hakim yang mengikuti Program Doktoral dan bahkan sudah menyandang gelar Doktor, serta banyak para Hakim yang sedang dan bahkan sudah menyandang gelar Magister Hukum (S-2).
Sejak adanya adanya Undang-Undang Tahun 2006 pasal 49 tentang bertambahnya wewenang Peradilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah. Perluasan kewenangan itu memberi konsekuensi tersendiri bagi Pengadilan Agama, selain harus memiliki Hakim-Hakim khusus yang kapabel dalam menangani sengketa ekonomi syari’ah, para Hakim juga dituntut untuk memahami segala perkara yang menjadi kecakapannya. Selama ini para Hakim Pengadilan Agama hanya menangani masalah sengketa perkawinan, waris, wasiat; hibah, waqaf dan sadakah, sehingga wawasan dan pengetahuan Hakim Pengadilan Agama tentang ekonomi syari’ah sangat terbatas.
Sejak satu atap dengan Mahkamah Agung, telah memakan banyak perhatian, pikiran, tenaga dan waktu dalam berbenah diri ke dalam (internal) teknis dan manajemen kelembagaan Peradialan Agama termasuk pembenahan sumberdaya manusianya baik secara struktural maupun fungsional. Dari 8 (delapan) jabatan struktural eselon I di Mahkamah Agung baru terisi lima pejabat, dan sisanya dalam proses di Sekretaris Negara. Untuk struktur organisasi eselon II dan eselon dibawahnya sedang dalam proses penyelesaian bersama Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. Melihat pembenahan kedalam (intern) yang dilakukan oleh Mahkamah Agung atas kelembagaan Pengadilan Agama, sehingga pelaksanaan pendidikan dan pelatihan untuk Hakim belum mendapat prioritas utama dalam upaya peningkatan kualitas dan proesionalisme Hakim.

4 Hubungan Antara Profesionalisme Hakim dengan Kepuasan Masyarakat Pencari Keadilan
Untuk menganalisis tujuan keenam penelitian yaitu mengetahui hubungan antara profesionalisme Hakim dengan kepuasan masayarakat pencari keadilan digunakan analisis non parametrik Korelasi Kendallis menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara profesionalisme Hakim dengan kepuasan masyarakat pencari keadilan signifikan (α = 0,01) atau level of significance 1% atau confidence level 99%. Secara empiris dapat dibuktikan dengan jumlah perkara kasasi dari tahun ke tahun rata-rata menurun. Perkara kasasi merupakan salah satu indikator bahwa masyarakat yang tidak puas akan melakukan kasasi. masayarakat pencari keadilan yang tidak puas akan mengajukan banding dan bahkan kasasi untuk mencari keadilan. Pada tahun 2003 perkara banding 192 sedangkan perkara di Pengadilan tingkat pertama berjumlah 45.763 perkara . Jadi masyarakat yang tidak puas berjumlah 0,42 persen atau yang puas dengan putusan pengadilan tingkat pertama adalah 99,58 persen. Untuk tingkat kasasi 0,059 persen yang tidak puas atau 99,941 yang puas. Pada tahun 2004 perkara yang banding 204 dari 50.481 perkara Pengadilan tingkat pertama Jadi masyarakat yang tidak puas berjumlah 0,40 persen atau yang puas dengan putusan pengadilan tingkat pertama adalah 99,60 persen. Untuk tingkat kasasi 0,063 persen yang tidak puas atau 99,937 yang puas. Sedangkan untuk tahun 2005 perkara yang banding 181 dari 45.763 perkara Pengadilan tingkat pertama Jadi masyarakat yang tidak puas berjumlah 0,38 persen atau yang puas dengan putusan pengadilan tingkat pertama adalah 99,62 persen.
Untuk tingkat kasasi , pada tahun 2003 perkara kasasi mencapai 68 perkara atau 0,015 persen dari jumlah perkara yang ada pada pengadilan tingkat pertama. Pada tahun 2004 perkara kasasi mencapai 30 atau 0,06 persen sedangkan pada tahun 2005 terdapat 45 perkara atau 0,09 persen. Jadi prosentase jumlah perkara yang diterima oleh Pengadilan Agama tiap tahunnnya rata-rata yang mengajukan kasasi berjumlah 0,1 persen .
Jadi dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang merasa tidak puas akan mengajukan perkaranya sampai ke jenjang Mahkamah Agung (perkara kasasi). Sehingga secara empiris masyarakat pencari keadilan yang merasa tidak puas mencapai 0,1 persen sedangkan yang merasa puas dengan dengan pelayanan di Pengadilan Agama , baik pelayanan administratif dan pelayanan hukum hukum yang rata-rata mencapai 99,9 persen.